Jarimah Ta'zir dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Jinayah Islam)
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Manusia
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berinteraksi terkadang sering mengalami gesekan
dengan manusia yang lainnya, bahkan tak jarang dikarenakan gesekan tersebut
manusia dapat melakukan hal-hal yang mengarah kepada perbuatan pidana yang
merugikan orang lain. Sebenarnya Al Qur’an dan Al-Hadits telah memberikan
penjelasan tentang sifat manusia tersebut, dan bahkan didalamnya pula sudah
dijelaskan mengenai berbagai perbuatan pidana yang dilakukan beserta hukumannya,
tetapi karena sifat manusia yang dinamis dan kompleks, sifat dan perbuatan
pidana yang dilakukannya inipun variatif dan cenderung berkembang dari masa ke
masa sehingga perbuatan dan hukumannya terkadang tidak dapat ditemukan didalam
nash, perbuatan pidana itulah yang dinamakan jarimah ta’zir, yang mana akan diulas
dan dikupas dalam makalah ini, disamping itu makalah ini juga dibuat untuk
memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Hukum Pidana Islam.
B.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa
hal sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir
?
2.
Apa dasar hukum dari jarimah ta’zir ?
3.
Apa sajakah yang termasuk jarimah ta’zir
?
4.
Apa sajakah hukuman-hukuman yang berlaku
dalam jarimah ta’zir ?
C.
Tujuan Masalah.
Tujuan
merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam
makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan jarimah ta’zir.
2.
Untuk mengetahui dasar hukum jarimah
ta’zir.
3.
Untuk mengetahui apa saja yang termasuk
jarimah ta’zir.
4.
Untuk mengetahui hukuman-hukuman yang
berlaku dalam jarimah ta’zir.
D.
Metode Penulisan.
Metode
penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka .
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Jarimah Ta’zir.
Menurut
bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata azzara
yang berarti man’u wa radda (mencegah
dan menolak). Ta’zir dapat berarti addaba
(mendidik) atau azhamu wa waqra. Yang
artinya mengagungkan dan menghormat. Dari berbagai pengertian, makna ta’zir
yang paling relevan adalah al-man’u wa
raddu (mencegah dan menolak), dan pengertian kedua ta’dib (mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Abdur Qadir Audah dan Wahbah Az-Zuhaili. Ta’zir diartikan
mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik karena ta’zir dimaksudkan untuk
mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya. Selain diatas, ta’zir secara harfiah juga
dapat diartikan sebagai menghinakan pelaku kriminal karena tindak pidananya
yang memalukan[1].
Menurut
istilah, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Mawardi bahwa yang dimaksud
dengan ta’zir adalah sebagai berikut :
“Ta’zir
adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang
hukumannya ditentukan oleh syara’.”
Sementara
Wahbah az-Zuhaily memberikan definisi yang mirip dengan definisi al-Mawardi :
“Ta’zir
menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah
yang tidak dikarenakan had dan tidak pula kifarat.”
Jadi
dengan demikian jarimah ta’zir adalah suatu jarimah yang hukumannya diserahkan
kepada hakim atau penguasa. Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk
menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir[2].
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan
oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumnya belum ditetapkan
oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. Jadi istilah ta’zir bisa digunakan
untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana)[3].
Dari
definisi tersebut, juga dapat difahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak pula dikenakan
kifarat, dengan demikian, inti dari jarimah takzir adalah perbuatan maksiat.
Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). Para fiqaha
memberikan contoh meninggalkan kewajiban seperti menolak membayar zakat,
meninggalkan shalat fardhu, enggan membayar hutang padahal mampu, mengkhianati
amanat, seperti menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil
wakaf dan lain sebagainya. Sebagai contoh melakukan perbuatan yang dilarang,
seperti mencium perempuan lain bukan istri, sumpah palsu. Penipuan dalam jual
beli, melakukan riba, melindungi dan menyembunyikan pelaku kejahatan, memakan
barang-barang yang diharamkan, seperti darah, bangkai, dan sebagainya. Contoh
diatas termasuk dalam jarimah ta’zir.
Disamping
itu juga hukuman ta’zir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh
kemashlahatan umum, meskipun perbuatannya bukan maksiat, melainkan pada awalnya
mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan,
karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena
sifatnya. Apabila sifat tersebut ada maka perbuatannya diharamkan, dan apabila
sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan
(illat) dikenakan hukuman atas perbuatannya tersebut adalah membahayakan atau
merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur
merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku
dikenakan hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut bukan jarimah
dan pelaku tidak dikenakan hukuman.
Penjatuhan
hukuman ta’zir untuk kepentingan umum ini didasarkan kepada tindakan Rasulullah
SAW, yang menahan seorang laki-laki yang diduga mencuri unta. Setelah diketahui
ternyata ia tidak mencurinya. Rasulullah SAW melepaskannya. Analisis terhadap
tindakan Rasulullah SAW tersebut adalah bahwa penahanan merupakan hukuman
ta’zir, sedangkan hukuman hanya dapat dikenakan terhadap suatu jarimah yang
sudah dapat dibuktikan. Apabila dalam peristiwa tersebut tidak terdapat unsur
pidana maka artinya Rasulullah mengenakan hukuman penahanan (penjara) hanya
karena tuduhan semata-mata (tuhmah). Hal
ini mengandung arti bahwa Rasulullah SAW membolehkan penjatuhan hukuman
terhadap dalam posisi tersangka, meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang
dilarang. Tindakan yang diambil oleh Rasulullah SAW tersebut dibenarkan oleh
kepentingan umum, sebab membiarkan si tersangka hidup bebas sebelum dilakukan
penyelidikan tentang kebenaran tuduhan terhadap dirinya biar mengakibatkan ia
lari, dan biar juga menyebabkan dijatuhkannya vonis yang tidak benar terhadap
dirinya, atau menyebabkan tidak dapat dijalankannya hukuman yang telah
diputuskan[4].
B.
Dasar Hukum Jarimah Ta’zir.
Pada
jarimah ta’zir al-Qur’an dan al-Hadits tidak menerapkan secara terperinci, baik
dari segi bentuk jarimah maupun hukumannya[5].
Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir adalah at-ta’zir yadurru ma’a mashlahah
artinya, hukum ta’zir didasarkan pada pertimbangan kemashlahatan dengan tetap
mengacu kepada prinsip keadilan dalam masyarakat[6].
Menurut
Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan adanya jarimah
ta’zir adalah Qur’an surat al Fath ayat 8-9 yang artinya :
!$¯RÎ) »oYù=yör& #YÎg»x© #\Ïe±t6ãBur #\ÉtRur ÇÑÈ (#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç/ ¸xϹr&ur ÇÒÈ
“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai
saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.”.
“Supaya kamu sekalian beriman
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan
bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.
Dari
terjemahan tersebut diatas A. Hasan menterjemahkan: watu’aziruhu sebagaimana dikutip oleh Haliman dengan: dan supaya
kamu teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai tujuan ini, satu diantaranya ialah
dengan mencegah musuh-musuh Allah, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Syarbini al-Khatib.
Adapun
Hadits yang dijadikan dasar adanya jarimah ta’zir adalah sebagai berikut :
1.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz
ibn Hakim yang artinya “ Dari Bahz ibn
Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW menahan seseorang karena
disangka melakukan kejahatan.
2.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abi
Burdah yang artinya “Dari Abu Burdah
Al-Anshari RA. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :Tidak boleh dijilid
diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah
ta’ala (Muttafaqun Alaih)”.
3.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Aisyah yang artinya “Dari Aisyah Ra.
Bahwa nabi bersabda : Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah
melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah
hudud”.
Secara umum ketiga
hadits tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zir dalam syariat Islam.
Hadits pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang
diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan boleh lebih dari
sepuluh cambukan untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan batas hukuman
ini dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah hudud dan mana yang termasuk
jarimah ta’zir. Menurut al-Kahlani, para ulama sepakat bahwa yang termasuk
jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah, qadzaf, murtad dan
pembunuhan. Selain dari jarimah-jarimah tersebut, termasuk jarimah ta’zir
meskipun ada juga beberapa jarimah yang diperselisihkan oleh para fuqaha,
seperti liwath, lesbian, dan sedangkan hadits ketiga mengatur tentang tekhnis
pelaksanaan hukuman ta’zir yang bias berbeda antara satu satu pelaku lainnya,
tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Adapun tindakan sahabat
yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain
tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab yang melihat orang menelentangkan seekor
kambing kemudian dia mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut
dengan cemeti dan ia berkata : “Asah dulu pisau itu”[7].
C. Macam-Macam
Jarimah Ta’zir.
Menurut Abd Qadir Awdah, jarimah ta’zir terbagi
menjadi tiga.[8]
Pertama,
jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur subhat atau tidak memenuhi
syarat, namu hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti wati’
subhat, pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian
yang bukan harta benda. Kedua, jarimah ta’zir yang jenisnya telah
ditentukan oleh nash, tapi sanksinya oleh syar’i diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi
palsu, mengicu timbangan, menipu, mengingkari janji, mengkhinati amanat, dan
menghina agama. Ketiga, jarimah ta’zir dan jenis sanksinya secara penuh
menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini
unsur akhlak menjadi pertimbangan yang utama. Misalnya pelanggaran terhadap
peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap peraturan
pemerintah lainnya.
Dilihat dari segi berubah tidaknya sifat jarimah
ta’zir dan jenis hukumannya, para fuqaha membaginya menjadi dua macam. Pertama,
jarimah ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’, seperti mu’amalah dengan
cara riba, memicu timbangan, megkhianati amanat, korupsi, menyuap, manipulasi,
nepotisme, dan berbuat curang. Semua perbuatan tersebut dilarang dan sanksinya
diserahkan kepada penguasa. Kedua, jarimah ta’zir yang ditentukan oleh
penguasa atau pemerintah. Bentuknya dapat mengalami perubahan tergantung
situasi dan kondisi masyarakat pada waktu tertentu, misalnya UU Lalu Lintas dan
Angkutan Raya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, pemerintah mengacu
dan berpegang pada prinsip menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap
anggota masyarakat dari kemadharatan di samping itu penegakkan jarimah ta’zir
harus sesuai dengan prinsip syar’i (nash).
Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua
bagian, yaitu:
1.
Jarimah ta’zir
yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, perampokan,
pencurian, pemberontakan, perzinaan, dan tidak taat pada ulil amri.
2.
Jarimah ta’zir
yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba, yaitu segala sesuatu yang
mengancam kemaslahatan bagi seorang manusi, seperti tidak membayar hutang dan
penghinaan.
Pentingnya pembagian jarimah ta’zir kepada jarimah
yang berkaitan dengan hak Allah dan jarimah yang berkaitan dengan hak hamba;
a.
Untuk yang
berkaitan dengan hak hamba disamping harus ada gugatan dari ulil amri juga
tidak dapat memaafkan, sedang yang berkaitan dengan hak Allah atau jamaah tidak
harus ada gugatan dan ada kemungkinan bagi ulil amri untuk memberi pemaafan
atau mendeponir bila hal itu membawa kemaslahatan.
b.
Dalam ta’zir
yang berkaitan dengan hak hamba tidak dapat diberlakukan teori tadakhul. Jadi
sanksinya dijumlahkan sesuai dengan banyaknya kejahatan. Misalnya bila
seseorang menghina A, B, C dan D, maka hukumannya adalah empat kali. Sedang
dalam ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah berlaku teori tadakhul, seperti
seseorang tidak mengeluarkan zakat beberapa kali dan beberapa macam zakat, maka
dia dikenakan satu kali ta’zir.
c.
Ketika tindak
pidana ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah berlangsung, semua orang wajib
mencegahnya, hal ini merupakan penerapan nahi munkar. Sesuai sabda Rasulullah
saw : “ Barangsiapa melihat suatu tindakan kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya
dengan kekuasaan, bila ia tidak kuasa maka dengan lidahnya, bila ia tidak mampu
maka dengan hatinya dan cara itu merupakan standar iman yang terendah.” [HR
Muslim dari abu Said al-Khudri].
Sedang ta’zir yang
berkaitan dengan hak hamba setiap orang dapat mencegahnya ketika kejahatan itu
terjadi dan penjatuhan hukuman dalam kasus ini sangat tergantung kepada
gugatan.
d.
Ta’zir yang
berkaitan dengan hak hamba dapat diwariskan kepada ahli waris korban bila tak
sempat mengajukan gugatan sedangkan ia telah berniat untuk itu. Adapun ta’zir
yang berkaitan dengan hak Allah tidak dapat diwariskan.
Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa tidak ada
maksiat yang betul-betul hanya berkaitan dengan hak Allah atau dengan hak
perorangan secara murni. Jadi dalam suatu kejahatan kedua hak tersebut pasti
tergangg, tetapi dapat dibedakan salah satu dari kedua hal itu mana yang
dominan.
D.
Macam-Macam Hukuman Ta’zir.
- Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
a.
Hukuman Mati
Hukuman
mati ditetapkan sebagai hukuman qishash
untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhsan, riddah, dan
jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh
para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk
menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya
diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang.
Contohnya pencurian yang dilakukan berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa
kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.
Malikiyah
juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir
tertentu, seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail.
Sebagian
fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus
penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan assunah.
Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhshan.
Dari
uraian tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk jarimah ta’zir, hanya
dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan
syarat-syarat sebagai berikut.
1.)
Bila pelaku adalah residivis
yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati
2.)
Harus dipertimbangkan
betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap
kerusakan yang menyebar di muka bumi.[9]
Adapun
alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada
keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula
yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun
kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah
digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan
pedang lebih cepat.[10]
b.
Hukuman Jilid (Dera)
Alat
yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang,
tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Imam Ibn Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara
adalah pertengahan.
Adapun
sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih diperselisihkan oleh para
fuqaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras
daripada jilid dalam had agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi
jera, disamping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang
lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi,
ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat jilid
dalam hudud.[11]
Pukulan
atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan
diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk
bagian perut dan dada, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan
keselamatan orang yang terhukum.
Dari
uraian tersebut, dapat dipahami bahwa hukuman jilid tidak boleh sampai
menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum,
apalagi sampai membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran
dan pendidikan kepadanya.[12]
- Hukuman yang Berkaitan
dengan Kemerdekaan
a.
Hukuman Penjara
Dalam
bahasa Arab istilah untuk hukuman penjara yaitu disebut dengan Al-Habsu yang artinya mencegah atau
menahan. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud Al-Habsu menurut syara’ bukanlah menahan
pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar
tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau
masjid, maupun di tempat lainnya. Penahanan model itulah yang dilaksanakan pada
masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan
seorang pelaku. Akan tetapi setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah
kekuasaan Islam bertambah luas, Khalifah Umar pada masa pemerintahan-nya
membeli rumah Shafwan ibn Umayyah dengan harga 4000 dirham untuk kemudian
dijadikan sebagai penjara.
Hukuman
penjara dalam syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu:
1.)
Hukuman penjara terbatas
Adalah
hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas
ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakan riba, melanggar
kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur dll.
Adapun lamanya hukuman penjara ini tidak ada kesepakatan dikalangan ulama.
Batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan
di kalangan fuqaha.
2.)
Hukuman penjara tidak
terbatas
Hukuman
penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus
sampai orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain
bisa disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman ini dikenakan kepada
penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain
untuk dibunuh oleh orang ketiga, atau seperti orang yang mengikat orang lain,
kemudian melemparkannya ke depan seekor harimau dll.[13]
b.
Hukuman Pengasingan
Meskipun
hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namaun dalam praktiknya, hukuman
tersebut diterapkan juga sebagai hukuma ta’zir. Di antara jarimah ta’zir yang
dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannats (waria), yang pernah
dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar Madinah. Demikian pula
tindak pidana pemalsuan terhadap Alquran. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan
kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga
pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh
tersebut.
Adapun
tempat pengasingan diperselisihkan oleh fuqaha. Lamanya (masa) pengasingan juga
tidak ada kesepakatan di kalangan para fuqaha. Menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah, masa pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun agar tidak
melebihi masa pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had.
Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab
pengasingan di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Imam Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas
waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa (hakim).
3.
Hukuman yang
Berkaitan dengan Harta.
a.
Pengertian
Para ulama, Imam Abu
Hanifah dan Muhammad tidak membolehkan sanksi ta’zir berupa harta, sedangkan
Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad membolehkannya.
Ulama yang
membolehkannya juga berbeda pendapat dalam mengartikan sanksi ta’zir berupa
harta benda. Ada yang mengartikannya dengan menahan harta terhukum selama waktu
tertentu, bukan dengan merampas atau menghancurkannya. Alasannya adalah, karena
tidak boleh mengambil harta seseorang tanpa ada alasan hukum yang membolehkannya.
Ada pula ulama yang
berpendapat bahwa sanksi ta’zir berupa harta diperbolehkan pada waktu awal
Islam lalu dinasakh, karena dengan diperbolehkannya sanksi yang demikian maka
menyebabkan Ulil Amri mengambil harta orang lain dengan sewenang-wenang. Akan
tetapi alasan ulama tidak memperbolehkannya ini tidak dapat diterima oleh
jumhur ulama, karena banyak bukti, baik Rasulullah maupun Khalifah al-Rasyidin
menerapkan sanksi ta’zir berupa harta ini, seperti keputusan Rasul yang
memerintahkan untuk menghancurkan tempat khamr dan mendenda dengan dua kali
lipat buah-buahan yang dicuri dari pohonnya serta memberikan hukuman didenda
kepada pencuri harta bukan dari tempat penyimpanannya yang layak.
b.
Macam-macam
sanksi Ta’zir yang Berupa Harta
Ibn Taimiyah membagi
sanksi ta’zir berupa harta menjadi tiga bagian, yaitu menghancurkannya,
mengubahnya dan memilikinya. Contohnya, Umar menumpahkan harta dagangan yakni
susu yang dicampur dengan air untuk menipu pembeli.
Ulama berpendapat bahwa
itlaf al-mal itu bukan dengan cara menghancurkan, melainkan diberikan kepada
fakir miskin bila harta tersebut halal dimakan.
Contoh sanksi ta’zir
yang berupa mengubah milik penjahat antara lain mengubah patung yang disembah
oleh muslim dengan cara menghilangkan kepalanya.
Contoh sanksi ta’zir
berupa pemilikan harta penjahat adalah keputusan Rasulullah melipatgandakan
harta buah-buahan yang dicuri oleh seorang pencuri sebagai denda.
Dengan demikian, maka
di kalangan ahli hukum Islam dikenal adanya sanksi denda dalam ta’zir ini dan
kadang-kadang ia sebagai hukuman pokok dan kadang-kadang sebagai hukuman
tambahan. Namun, para ulama tidak menentukan batas tertinggi dan terendah dalam
sanksi ta’zir berupa harta. Dari contoh diatas bahwa sanksi ta’zir yang berupa
harta diancamkan kepada jarimah-jarimah yang berkaitan dengan harta atau yang
bernilai harta. Tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa jarimah yang berkaitan
dengan harta dapat dijatuhi hukuman penjara.
Setelah mengetahui yang
dikemukakan Ibn Taimiyah tentang pembagian sanksi ta’zir berkaitan dengan
harta, maka salah satu bentuk pemilikan harta itu adalah denda. Sanksi denda
ini bisa merupakan hukuman pokok yang dapat digabungkan dengan sanksi lainnya.
Hanya saja syari’at tidak menentukan batas tertinggi dan terendah bagi hukuman
denda inidan hal ini diserahkan kepada hakim sesuai dengan keadilan dan tujuan
pemberian hukuman denda dengan mempertimbangkan jarimah-jarimah pelaku dan
kondisi-kondisinya. Penerapan sanksi denda ini tampaknya dikenakan dalam
jarimah-jarimah yang berkaitan dengan ketamakan seseorang terhadap harta orang
lain.
Selain denda, sanksi
ta’zir berupa pemilikan harta juga dengan jalan perampasan, meskipun dalam hal
ini ada ulama yang tidak membolehkannya bila harta tersebut adalah harta yang
halal dimiliki oleh muslimin. Akan tetapi jumhur ulama pada umumnya membolehkan
dengan alasan karena harta itu sendiri bila kita menggunakan teori ta’asuf
dalam pemilikan harta, maka menurut ulama, kita tidak boleh mengganggu hak
milik orang lain dengan cara:
-
Harta itu
dihasilakan dengan jalan halal
-
Harta itu
digunakan sesuai dengan fungsi
-
Penggunaan harta
tersebut tidak menggangu hak orang lain.
Jika persyaratan itu tidak terpenuhi,
maka dapat diterapkan sanksi ta’zir dengan
merampas harta tersebut oleh Ulil Amri sebagai hukuman terhadap
perbuatannya.
4.
Hukuman Ta’zir
lainnya.
a.
Peringatan dan
Dihadirkan ke Hadapan Sidang
Peringatan itu dapat
dilakukan dirumah atau dipanggil ke sidang pengadilan. Sudah tentu bentuk yang
pertama disebut oleh para ulama sebagai peringatan keras semata-mata dan
dianggap lebih ringan daripada bentuk peringatan yang kedua. Sebab pelaksanaan
peringatan pertama pelaku cukup dirumah dan didatangi oleh petugas dari
pengadilan, sedangkan peringatan kedua pelaku harus hadir ke pengadilan untuk
mendapatkan peringatan langsung dari hakim. Dan pemilihan apakah peringatan
bentuk pertama atau bentuk kedua yang akan diberikan kepada si pelaku itu
sangat tergantung kepada kebijaksanaan hakim dengan mempertimbangkan
jarimahnya, pelakunya dan kondisinya. Pemberian peringatan itu harus didasarkan
kepada ada atau tidak adanya maslahat.
b.
Dicela
Para ulama mendasarkan
pemberian sanksi ta’zir yang berupa celaan ini kepada sunnah Nabi yang
menceritakan bahwa Abu Dzar pernah menghina seorang dengan menghina ibunya.[14]
Umar bin Khaththab juga pernah menjatuhkan sanksi celaan ini terhadap orang
yang memakai pakaian sutera asli.
Meskipun para ulama
menyebutkan bahwa celaan ini bisa diucapkan didalam maupun diluar persidangan,
akan tetapi tampaknya yang lebih tepat adalah dilakukan didepan pengadilan.
c.
Pengucilan
Yang dimaksud dengan
pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah dan melarang
masyarakat berhubungan dengannya.dasar sanksi ini adalah firman Allah SWT:
“ wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka” (Q.S. al-Nisa:
34)
Disamping itu
berdasarkan kepada sunnah Nabi dan sahabatnya yang mengucilkan tiga orang yang mengundurkan diri dari barisan
perang Tabuk. Mereka itu adalah Ka’ab ibn Malik, Mirarah ibn Rabi’ah al Amiri
dan Hilal ibn Umayah al Waqifi., mereka dikucilkan selama lima puluh hari
sampai mereka bertaubat. Dalam kasus ini Rasulullah melarang muslimin berbicara
dengan mereka bertiga dan memerintahkan agar menjauhi mereka.
Sanksi ta’zir yang
berupa pengecualian ini diberlakukan bila membawa kemaslahatan sesuai dengan
kondisi dan situasi masyarakat tertentu.
d.
Nasihat
Para ulama mengambil
dasar hukum yang berupa nasihat dengan firman Allah an-Nisa’:34.
Hukuman ta’zir dalam
ayat tersebut bukan hukuman ta’zir yang dijatuhkan oleh Ulil Amri, melainkan
hukuman ta’zir yang dijatuhkan oleh kepala rumah tangga atau seorang suami
kepada istrinya. Sedangkan yang dimaksud nasihat sebagai sanksi ta’zir
sebagaimana dikatakan oleh ibn Abidin adalah memperingatkan si pelaku bila ia
lupa atau tergelincir kepada suatu kesalahan yang bukan kebiasaannya. Sudah
tentu dalam arti sanksi yang dijatuhkan oleh Ulil Amri nasihat harus diucapkan
oleh hakim.
e.
Pemecatan dari
Jabatan
Yang dimaksud dengan pemecatan
adalah melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau menurunkan atau
memberhentikannya dari suatu tugas atau jabatan tertentu.
Sanksi ta’zir yang
berupa pemberhentian dari tugas ini biasa diberlakukan terhadap setiap pegawai
yang melakukan jarimah. Pada prinsipnya hukuman pemecatan ini dapat diterapkan
dalam segala kasus kejahatan, baik sebagai hukuman pokok, pengganti, maupun
sebagai hukuman tambahan sebagai akibat seorang pegawai negeri tidak dapat
dipercayai untuk memegang suatu tugas tertentu.
Adapun pemilihan apakah
pemecatan itu sebagai hukuman pokok atau pengganti ataukah sebagai hukuman
tambahan sangat tergantung kepada kasus-kasus kejahatan yang dilakukannya.
f.
Diumumkan
Kejahatannya
Dasar hukuman
pengumuman kejahatan sebagai hukuman ta’zir adalah tindakan Umar terhadap
seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu keliling kota.
Jumhur ulama berpendapat bahwa mengumumkan kejahatan seseorang itu
diperkenankan.
Dalam mazhab Syafi’i
pengumuman juga boleh dengan menyuruh pencuri keliling pasar orang-orang pasar
tahu bahwa ia adalah pencuri.
Dengan demikian,
menurut fuqaha sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan itu dimaksudkan
agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan
perbuatan serupa.
Diantara jaimah yang
dicontohkan oleh para ulama adalah saksi palsu, pencurian, kerusakan akhlak,
kezaliman hakim, dan menjual belikan harta yang haram.[15]
Dari contoh diatas jelas bahwa sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan
si pelaku itu diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang mempunyai pengaruh
atau bahaya yang besar bagi masyarakat. Meskipun tidak menutup kemungkinan
untuk kejahatan-kejahatan lainnya yang atas pertimbangan kemaslahatan
diperlukan pengumuman.
Tampaknya sanksi
pengumuman ini merupakan sanksi tambahan dan bukan sanksi pokok, artinya
hukuman yang ditambahkan kepada hukuman pokok tertentu.
Perludisinggung disini
bahwa dengan sanksi pengumuman ini tidak dimaksudkan untuk menyebarluaskan
kejahatan dan kejelekan seseorang. Namun, larangan penyebarluasan isu kejahatan
itu manakala kejahatan atau dosa tersebut masih berupa isu dan belum dibuktikan
kebenarannya melalui proses pengadilan, sesuai dengan prinsip khusnuzhan. Akan
tetapi bila kejahatan itu telah terbukti dan ada maslahatnya bila kasus itu
diketahui umum, maka sanksi ta’zir berupa pengumuman itu perlu dijadikan
sebagai hukuman tambahan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Rahman, Abdur. 1992. Tindak Pidana dalam Syariat Islam.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
2.
Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Teras.
3.
Sabiq, Sayid. 1997. Fikih Sunnah Jilid 10. Bandung: PT Al-Ma’arif.
4.
Djazuli. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
5.
Mubarak, Jaih. 2004. Kaidah-Kaidah Fiqh Jinayah. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
6.
Mushlih, Ahmad Mawardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Sinar
Grafika.
7.
Marsum. 1988. Jarimah Ta’zir: Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam.
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
8.
Munajat, Makhrus. 2006. Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam.
Yogyakarta: Penerbit Cakrawala.
9.
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Al-Mahira.
10.
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
11.
Rahman, A. 1996. Hudud dan Kewarisan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
12.
Hanafi, Ahmad. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
13.
Saleh, Hasan. 2008. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
14.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Gema Insani.
15.
As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.
1997. Hukum-Hukum Fiqh Islam.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
16.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada
Media Group.
17.
Fauzani, Ahmad. 2002. Studi Banding Hukum Pidana Islam dengan
Hukum Pidana Positif tentang Jenis-Jenis Hukuman. Skripsi S1. Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
18.
Khamzah, Khanif Wakhid. 2012. Studi Perbandingan Pemidanaan Antara Hukum
Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia. Skripsi S1. Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1]
Prof. Abdur Rahman I.Doi,.
Ph.D., Tindak Pidana dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. Putra Melton, 1992).
Hlm. 14.
[2] Marsum, Jarimah Ta’zir :
Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam (Yogyakarta : Fakultas Hukum UII,
1988). Hlm. 1.
[3] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana
Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Hlm. 249.
[4]
Drs. Makhrus Munajat,
M.Hum., Hukum Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009).
Hlm. 177-181.
[5] Jaih Mubarok, Kaidah-Kaidah Fiqh
Jinayah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). Hlm. 47.
[6]
Makhrus munajat,
Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam (Yogyakarta: Cakrawala, 2006). Hlm.
14.
[7]
Drs. Makhrus Munajat, Hukum
Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2009). Hlm. 182-185.
[8] Ibid.,. Hlm. 14-15.
[9] H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm.158-159.
[10] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), hlm.260
[11] H.A. Djazuli, Fiqh Jinayat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm.196-197
[12] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), hlm.260-261
[13] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm.262-263
[14]
Yamani, Zaki, 1974 Al-Syari’ah
al-Khalidah wa Musykilah al-Ashr, Alih Bahasa: Mahyuddin Syaf, Alma’arif
Bandung, hlm. 65,
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini