Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan
A.
Pengertian
Hak-hak Perempuan Dalam Perkawinan.
Menurut
etimologi hak berarti kekuasaan untuk melakukan sesuatu seperti yang tercantum
dalam aturan dan dapat pula diartikan derajat atau martabat. Sedangkan
perempuan berarti wanita atau istri, kata perempuan berasal dari kata empu yang
berarti dihargai. Hamka memaknai perempuan dengan “empu” dan digambarkan sebagai empu jari yang berposisi sebagai
penguat jari , dan jari tidak dapat memegang dengan kuat serta menggengggap
erat bila empu jari tersebut tidak ada.
Secara
etimologi perkawinan merupakan perjanjian yang resmi antara pria dan wanita
untuk membentuk keluarga yang pada hakekat nya terdapat rasa cinta kasih,
kewajiban, pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Dimana kewajiban
dalam perkawinan adalah kerjasama kedua belah pihak suami istri dalam
mengarungin bahtera kehidupan.
Stereotype
yang menyatakan bahwa tugas perempuan adalah melayani laki-laki dibanyak
masyarakat terdahulu yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap pendidikan
kaum perempuan yang di nomorduakan. Seringkali stereotype justru dilandaskan
pada suatu keyakinan dan penfsiran keagamaan. Sehingga tidak saja memberikan
legitimasi bagi masyarakat atau ummat untuk melakukan diskriminasi bahkan
menjadi factor pendorong terjadinya diskriminasi.
Karena
adanya angggapan bahwa perempuan itu bersifat memelihara dan rajin, serta tidak
cocok menjadi kepala rumah tangga. Maka angggapan tersebut membawa akibat
adanya anggapan bahwa pekerjaan domestic menjadi tanggung jawab perempuan.
Mitos bahwa perempuan berada di sektor domestic dan laki-laki di sector public
bermula dari dongeng-dongeng fiktif seperti Cinderella, putrid puncak cemara,
tujuh bidadari yang kemudian dkembangkan menjadi opini masyarakat bahwa
perempuan identik dengan kepasrahan, kepatuhan kepada laki-laki.
B.
Kedudukan
dan Peran Perempuan dalam Keluarga
Dalam
sebuah perkawinan dan keluarga, perempuan lazim mendapatkan posisi sebagai
istri dan ibu dari anak-anak yang mereka lahirkan. Sehingga posisis tersebut
mempunyai beragam implikasi yang menyangkut hak, kewajiban dan tanggung jawab
dalam sebuah keluarga. Sebagai seorang istri, perempuan memunyai beragam hak,
mulai dari mendapatkan mahar ketika menikah, hak memperoleh nafkah, hak untuk
meminta cerai, hingga hak untuk bekerja dan mencukupi kebutuhankeluarga.
Sedangkan sebagai seorang ibu, mereka mempunyai hak dan kewajiban untuk
mengasuh dan memberikan pendidkan terhadap anak-anaknya. Disamping itu
perempuan juga memperoleh hak untuk mendapatkan tempat tinggal bersama-sama
anak-anaknya.
Perempuan
ketika menikah maka dia akan menjadi isti dari seorang suami. Lebih daripada
itu, dalam Kompilasi Hukum Islamditegaskan bahwa suami adalah kepala rumah
tangga an istri adalah ibu rumah tangga. Dalam aturan islam, seorang istri
mempunyai peran yang signifikan dalam kehidupan rumah tangga bersama suaminya.
Akan tetapi, peran istri seringkali direduksi menjadi semata-mata ibu rumah
tangga dalam artian sempit karena mereka mendapatkan nafkah dari suaminya.
Sehingga dengan melihat posisi peremuan yang hanya menerima mahar dan nafkah
dari suaminya seringkali membuat
perempuan terlempar dari posisinya sebagai makhluk bebas menjadi “hamba” suami.
Pandangan tersebut sebetulnya lebih dipengaruhi oleh tradisi yang sangat
berbasis patriarkhi daripada pandangan agama. Islam sebagai agama yang
memberikan kebebasan sangat menghargai perempuan. Ia memberikan kesempatan yang
besar kepada perempuan untuk mengaktualisasikan diri termasuk dalam keluarga.
Sementara
sebagai seorang ibu, perempuan mempiunyai tugas yang mulia sebagai pengasuh dan
pendidik anak-anaknya. Peran pendidik tersebut membutuhkan bekal kemampuan yang
cukup sehingga anak-anak yang berada pengasuhannya tidak akan terlantar dan
mendapatkan pengetahuan yang cukup untk menjalani hidup. Peran tesebut
merupakan sumbangan terbesar yang diberikan perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat, sebagaimana yang penah di publikasikan oleh WHO.
Namun
kedudukan perempuan yang ada selama ini tidak pernah membedakan perempuan yang
menempuh perkawinan monogami dengan poligami. Kedudukan dan peran perempuan
dalam perkawina monogami cenderung hanya membandingkan dan memposisikannya
sebanding dengan suami. Akan tetapi, kedudukan dan peran perempuan dalam
perkawinan poligami akan lebih rumit, karena perempuan tidak hanya ada bersama
suami tetapi dia juga ada dan bersama istri-istri yang lainnya. Hal itu
terutama menyangkut hak-hak yang semestinya mereka dapatkan. Beberapa hal
berkaitan dengan suami memang bisa disamakan, apakah perkawinan tersebut
monogami atau poligami, seperti mahar dan nafkah lahir. Tetapi mengenai kasih
saying atau nafkah batin, pembagian waktu, kedudukan istri pertama dan
istri-istyri ang lain tentu berbeda. Islam mensyaratkan seorang suami harus
berlaku adil terhadap istri-istrinya, akan tetapi dalam berbagai tradisi yang
berkembang, istri pertama kalau tidak isri yang terakhir, cenderung mendapatkan
poisisi yang lebih dibandingkan istri-istri yang lain. Istilah “putra mahkota”
sering diberikan kepada anak yang lahir dari istri pertama. Inilah yang tidak
diperbolehkan oleh islam dalam aq-Qur’an surat an-Nisa’: 129.
C.
Hak-Hak Perempuan Dalam Perkawinan.
Perempuan
sebagai manusia didalam perkawinan, juga mempunyai hak-hak yang harus
dilindungi dan diperhatikan oleh hukum teutama Hukum Keluarga Islam sehingga
didalam perkawinan tujuan utama dari perkawinan dapat terpenuhi dengan
sempurna, yaitu terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah dan penuh rahmat,
hak-hak perepmpuan diatas meliputi :
1. Hak Dalam Memilih
Pasangan.
Terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa
disamping manusia diciptakan Allah mempunyai bentuk yang sebaik-baiknya,
mempunyai tugas untuk beribadah kepada Allah, berusaha untuk mencari ilmu dan
sebagainya, manusia diberi pula hak memilih untuk menetapkan sesuatu yang
berhubungan dengan dirinya cita-cita dan agamanya, sehingga dengan demikian
diharapkan ia akan mencapai tujuan hidupnya, bahagia dunia dan akhirat.
Selama ini pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan
menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang
menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini kemudian
memunculkan asumsi bahwa Islam membenarkan adanya kawin paksa. Pemahaman ini
dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak ijbar. Hak Ijbar dipahami oleh banyak orang memaksakan suatu perkawinan oleh
orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.
Menurut bahasa Ijbar
berarti mewajibkan atau memaksa agar mengerjakan. Ijbar adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar
tanggungjawab. Istilah ijbar dikenal
dalam fiqh Islam dalam kaitannya dengan perkawinan. Dalam fiqh Mazhab Syafi’i
orang yang mempunyai kekuasaan atau hak ijbarini
adalah ayah atau (kalau tidak ada ayah) kakek. Sehingga, apabila seorang ayah
dikatakan sebagai wali mujbir, maka
dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan atau hak untuk mengawinkan anak
perempuannya, meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan, dan
perkawinan ini dipandang sah secara hukum. Hak ijbar sebenarnya dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau
tanggung jawab ayah terhadap anaknya, karena keadaan dirinya yang dianggap
belum atau tidak memiliki kemampuan atau lemah untuk bertindak.
Hak memilih pasangan merupakan salah satu hak seorang
manusia disamping hak-hak yang lain. Manusia tidak dapat dipaksa dengan haknya
tersebut, kecuali jika dalam melaksanakan haknya tersebut terdapat sesuatu hal
yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Pengambilan hak seseorang
hanyalah dapat dilakukan dengan dasar kerelaan dan persetujuan.
Wahbah az-Zuhaili, mengutip pendapat para ulama mazhab
fiqh yang mengatakan “Adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai
tanpa kerelaan mereka berdua. Jika salah satunya dipaksa secara ikrah dengan
suatu ancaman misalnya membunuh atau memukul atau memenjarakan, maka akad
perkawinan tersebut menjadi fasad (rusak)”. Kesakinahan dalam keluarga baru
terwujud bila antara masing-masing pihak terjalin cinta dan kasih sayang yang
mendalam. Hal ini mungkin tidak datang secara tiba-tiba, melainkan harus
diawali sejak dini, yakni jauh sebelum melangkah ke perkawinan.
Untuk mendapatkan kesesuaian kedua calon mempelai, Islam
memberikan hak yang sama dalam menentukan jodoh. Dengan demikian wanita bebas
untuk menentukan pilihan menolak atau menerima pinangan seseorang, atau pilihan
orang tuanya, jika ternyata pilihan orang tuanya tersebut tidak sesuai dengan
harkat dan martabat si perempuan terutama dalam bidang agama.
Bagaimanapun perkawinan adalah hal yang harus dijalani
secara ikhlas, sehingga makna dari perkawinan tersebut dapat terlaksana dengan
baik. Hal tersebut dapat terwujud apabila antara kedua calon mempelai saling
menerima dengan tulus kehadiran pasangannya[1].
2. Hak Mendapatkan
Maskawin (Mahar).
Konsep tentang maskawin/mahar adalah menjadi bagian yang
essensial dalam pernikahan. Tanpa maskawin/mahar tidak dinyatakan telah
melaksanakan pernikahan dengan benar. Maskawin/mahar adalah menjadi hak
eksklusif perempuan. Perempuan berhak menentukan jumlahnya dan menjadi harta
pribadinya. Disisi lain al-Quran memerintahkan kepada laki-laki yang akan
menikahi perempuan dengan memberi maskawin/mahar, karena memperoleh keuntungan.
Al-Qur’an menjelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 24 sebagai berikut :
“Dan(diharamkan juga kalian mengawini) perempuan yang bersuami kecuali
budak-budak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian
(yaitu) mencari istri dengan harta kalian untuk dikawini bukan untuk berzina.
Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) diantara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban dan
tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang bagi kalian telah
merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana”.
Asbab al-Nuzul ayat tersebut, dalam riwayat lain
dikemukakan bahwa, orang Hadrami membebani kaum lelaki dalam membayar mahar
dengan harapan dapat memberatkannya (sehigga tidak dapat membayar pada waktunya
untuk mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah ayat tersebut diatas
sebagai ketentuan pembayaran mahar atas kerelaan kedua pihak.[2]
Sementara itu, Murtadla Muthahhari berpendapat dalam bukunya Hak-Hak Wanita dalam Islam sebagai
berikut “mahar adalah hak milik perempuan itu sendiri, bukan milik ayah atau
saudara laki-lakinya. Al-Qur’an telah menunjukkan tiga pokok dasar dalam ayat
ini. Pertama, mahar disebut sebagai shaduqah,
tidak disebut mahar. Shaduqah berasal
dari kata shadaq, mahar adalah sidaq atau shaduqah karena ia merupakan suatu pertanda kebenaran dan
kesungguhan cinta kasih. Kedua, kata ganti hunna
(orang ketiga jamak feminim) dalam ayat ini berarti bahwa mahar itu menjadi hak
milik perempuan itu sendiri bukan hak ayahnya, ibunya atau keluarganya. Ketiga,
nihlah (dengan sukarela, secara
spontan, tanpa rasa enggan), menjelaskan dengan sempurna bahwa mahar tidak
mengandung maksud lain kecuali sebagai pemberian hadiah.” Dari ayat tersebut
dapat disimpulkan bahwa, perempuan kalau akan menikah berhak mendapat mahar
dari calon suaminya yang tidak ditentukan besar kecilnya karena disesuaikan
dengan kemampuan calon suami.
Mahar harus ditentukan jumlahnya terlebih dahulu sebelum
menikah meskipun cara membayarnya dengan hutang artinya dibayar nanti. Sebab
kalau belum menentukan jumlah mahar sebelum menikah, ketika akan cerai ia
(suami) tidak mau membayarnya atau mau membayar tetapi dalam jumlah yang
sedikit karena ia (suami) sudah merasa tidak senang.
Maharnya Fatimah binti Rasulullah SAW adalah baju besinya
Ali Karramallahu Wajhah, karena Ali
tidak memiliki selainnya. Lalu ia menjualnya, kemudian diberikan kepada Fatimah
sebagai mahar. Ada juga diantara perempuan Sahabiyyah yang maharnya berupa
cincin besi, ada juga yang maharnya berupa ayat-ayat al-Qur’an yang kemudian
diajarkan oleh suaminya. Dari penjelasan tersebut diatas, maka mahar dianggap
sebagai sesuatu yang urgen dalam pernikahan karena mahar menunjukkan keseriusan
dan kecintaan calon suami kepada calon istrinya[3].
3. Hak Dalam Memberikan
Nafkah.
Al Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk
memberi nafkah kepada istrinya, meskipun istri mempunyai kekayaan dan
pendapatan. Istri tidak diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas
jerihnya sendiri.
Adapun sebab wajib nafkah atas suami kepada istri adalah,
karena dengan selesainya akad yang sah, wanita menjadi terikat dengan hak suaminya, yaitu untuk menyenangkan nya,
wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal dirumah untuk mengurusi rumah
tangganya mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka sebagai imbalan yang
demikian Islam mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya.
Nafkah suami terhadap istri selama perkawinannya itu
dibangun atas akad yang sah, terlepas istrinya muslim atau tidak, kaya atau
miskin. Kewajiban ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. Perintah pemberian
nafkah ini berdasarkan al-Quran, al-Sunnah, al-Qiyas, dan al-Ijma’. Harus
dicatat bahwa memberi nafkah meliputi sandang, pangan dan papan. Tentang tempat
tinggal, al-Quran mengatakan “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isti-istri yang sudah
dithalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
Untuk makanan dan pakaian, al-Quran meminta suami
menyediakannya bagi ibu dan anak-anaknya sebagaimana dijelaskan “Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”[4].
Namun ketentuan-ketentuan diatas tidaklah bersifat kaku,
karena di didalam kasus-kasus tertentu Hukum Islam tidak melarang istri
membantu suaminya dalam mencari nafkah. Seperti dalam kasus negara Syiria dan
Tunisia, undang-undang kedua negara tersebut telah melakukan begitu mendetail
masalah nafkah ini. Lingkup pembiayaan nafkah tidak hanya terbatas pada sandang,
pangan dan papan melainkan juga meliputi biaya-biaya pengobatan. Bahkan
perbedaan agama istri tidak menjadi penghalang akan wajibnya nafkah ini. Dan
lebih ekstrem lagi bahwa pengabaian kewajiban ini bisa menjadi salah satu
alasan istri memohon perceraian.
Dalam masalah ini, kedua negara ini telah melakukan
terobosan yang signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri untuk menuntut
hak nafkahnya yang begitu luas. hal ini berbeda dengan pandangan para ulama
mazhab dimana biaya pengobatan bukan menjadi tanggung jawab suaminya. Menurut
mereka biaya pengobatan menjadi tanggungannya sendiri atau keluarganya, karena
obat-obatan tidaklah merupakan kebutuhan pokok, mereka menganalogkannya dengan
makanan cuci mulut. Makanan jenis ini tidak harus ada atau disediakan. Hal ini
disebebkan karena kondisi masyarakat pada waktu itu secara umum tidak
memerlukan pengobatan seperti sekarang ini. Akan tetapi, dewasa ini kebutuhan
masyarakat terhadap kesehatan telah menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Wahbah
az-Zuhaili menolak pandangan ulama mazhab empat diatas. Menurutnya nafkah untuk
kesehatan adalah termasuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Pemberian
nafkah kesehatan merupakan bentuk dari mu’asyarah
bi al-ma’ruf. Katanya: bukanlah m’asyarah
bi al-ma’ruf namanya, kalau suami dalam keadaan istrinya sehat dapat
bersenang-senang (istimta’), tetapi
manakala ia sakit, lalu mengembalikannya kepada keluarga. Ilustrasi yang dibuat
oleh Wahbah az-Zuhaili ini selaras dengan aturan di Syiria, Tunisia, bahkan
Mesir tentang hak perempuan (istri) dalam nafkah[5].
4. Hak Dalam Poligami.
Salah
satu persoalan fikih munakahat yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi
ramai dan pelik adalah masalah poligami. Pelik terutama bagi perempuan. Islam
sendiri “gara-gara” pesan tekstual tentang pembolehan poligami pembolehan
poligami dalam al-Qur’an, kerap dikecam sebagai anti demokrasi dan HAM dalam
kehidupan suami-istri karena poligami dilihat sebagai salah satu bentuk
diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan.
Tuduhan
klasik bahwa al-Quran memperlakukan perempuan secara tidak adil karena
memperbolehkan poligami masih saja diajukan orang. Tujuan ini juga sering
dikaitkan kepada Nabi Muhammad saw yang juga melakukan poligami bahkan istrinya
konon sampai sembilan. Menurut Riffat Hassan masalah terebut merupakan problem
yang tak kunjung selesai. Namun perlu dicatat, dalam al-Quran hanya ada satu
ayat yaitu an-Nisa ayat 3 yang berbicara poligami. Akan tetapi ayat tersebut
sering diartikan secara keliru oleh kebanyakan mufassir, untuk tidak mengatakan
semuanya[6].
Sebenarnya pesan yang hendak disampaikan dalam ayat tersebut adalah tentang
pentingnya menyantuni anak yatim yang ditinggal mati oleh Bapaknya, sehingga
dahulu karena ayat ini turun pada saat setelah selesai Perang Uhud yang memakan
banyak korban dari laki-laki, maka turunlah ayat ini untuk menyantuni anak
yatim dengan cara menikahi ibunya, sehingga nafkah dapat ditanggung oleh laki-laki yang menikahi ibunya tersebut.
Seiring
dengan meningkatnya kesadaran akan hak dan martabat status kaum perempuan,
poligami telah dianggap sebagai suatu upaya eksploitasi wanita demi kebutuhan
biologis kaum Adam. Sementara bagi kaum Adam pada umumnya, poligami adalah
sesuatu yang legal dan telah dipraktekkan oleh Nabi. Meskipun Nabi mempraktekkannya,
tidak semua ulama berpendapat seragam, sebagian dari mereka ada yang menolak
kebolehannya. Seperti Ulama-ulama diberbagai negara Muslim Modern seperti
Syiria dan Tunisia, bahkan negara terebut memasukkan aturan poligami dalam
undang-undang negara mereka secara rinci untuk melindungi hak-hak perempuan
dalam perkawinan. Seperti terlihat dari Negara Syiria yang membolehkan poligami
tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan sangat tergantung pada izin
dari pengadilan. Hal ini ada keberanjakan dari pemikiran mazhab klasik yang
notabene membolehkan meskipun dengan syarat harus yang tidak mungkin terpenuhi,
keadilan dalam kasih sayang, perasaan cinta dan sebagainya.
Lain
halnya dengan negara Tunisia, negara ini secara radikal telah melarang praktek
poligami ini. Larangan ini sebagai hal lain yang dibicarakan di atas, dipandang
sebagai akibat dari pengaruh kolonial barat. Para ahli Hukum Islam Tunisia
sebenarnya menyandarkan pandangannya pada al-Qur’an dan sumber-sumber hukum
dasar lainnya dalam melarang poligami. Meskipun demikian, barangkali ada
benarnya juga apabila keinginan mereka untuk melakukan uji ulang atas ijtihad
terdahulu dalam persoalan ini dipengaruhi oleh pengaruh eksternal Barat.
Bahkan, dengan analisis tradisional sekalipun, ada pendekatan hukum yang
memungkinkan wanita menolak poligami dalam perkawinannya sendiri.
Langkah
Syiria dan Tunisia ini dianggap paling berani dan telah mengalami keberanjakan
dari doktrin mazhab Maliki dan Syafi’i yang memberikan kebebasan yang luas bagi
laki-laki untuk berpoligami. Syaratnya hanya dua, yaitu adil dan maksimal empat
orang istri. Tak ada persyaratan apapun selain dua hal itu. Jadi dalam masalah
poligami, Tunisia telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam
mengangkat dan memelihara derajat kaum perempuan dari tindakan
kesewenang-wenangan kaum lelaki. Sebab poligami pada hakikatnya merupakan
bentuk penghinaan terhadap perempuan. Sebab mana ada perempuan yang rela dan
bersedia dimadu-sebagaimana halnya laki-laki, mana ada yang rela dan bersedia
untuk dimadu. Karena poligami menimbulkan kerawanan terhadap pelecehan hak-hak
kaum perempuan[7].
5.
Hak dalam Perceraian.
Perceraian diperbolehkan dalam Islam karena pernikahan
dianggap sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan baik karena kehendak
keduanya atau karena kehendak salah satu pihaknya. Bertentangan dengan
kepercayaan umum, Islam juga memperbolehkan perempuan mempunyai hak cerai.
Seorang perempuan dapat membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang
dikenal dengan khulu’. Walaupu Islam
membolehkan, tapi ketentuan ini nampaknya ambigu. Talak dan umumnya putusan
perkawinan walaupun dihalalkan, tetapi merupakan hal yang tidak disukai oleh
Allah. Sebagai ajaran moral ilahiyyah, Islam sangat tidak menyukai peceraian.
Secara moral, perceraian adalah sebuah pengingkaran. Akan tetapi, sadar bahwa
tidak mungkin perceraian sama sekali dihindari dalam kehidupan yang nisbi ini,
maka dengan penuh penyesalan, demi alasan yang sangat khusus, Islamun terpaksa
menerima kemungkinan tejadinya. Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW yang
penuh ambiguitas.
Ambiguitas ini pada dasarnya dimaksudkan untuk
mempersulit peluang terjadi perceraian kecuali dalam keadaan terpaksa atau ada qarinah yang dijustifikasi oleh syara’. Masih dalam konteks pemeliharaan
harmonisasi ikatan perkawinan, Islam kemudian memberikan peluang
restrukturisasi ikatan yang telah terkoyak oleh talak melalui prosedur rujuk.
Rujuk adalah pemulihan perkawinan dengan cara suami mengambil kembali bekas
istri kepada ikatan perkawinan semasa iddah
berlangsung. Dalam masalah talaq ini hukum Islam memperlakukan perempuan jauh
lebih baik, lebih manusiawi dan lebih berprikeadilan ketimbang doktrin agama
dan kebudayaan lain. Dengan ungkapan lain, Anderson mencatat, sebelum
kedatangan Islam, wanita tidak mempunyai wewenang untuk mentalaq dan juga tidak
mempunyai hak untuk menceraikan dirinya dari suaminya, kecuali suami memberikan
hak talaq itu (thalaq tafwid). Dengan
kedatangan Islam, terjadilah perubahan dalam konsep talaq. Perubahan tersebut
bertujuan untuk membatasi hak talaq suami dan selanjutnya memberikan pada
pertimbangan yang logis dan bukan bersifat sepihak.
Dalam upaya mereformasi bidang hukum keluarga banyak
negara Islam yang tetap mempertahankan hak suami untuk menceraikan istrinya
sembari memberi kebebasan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk meminta
cerai dalam kasus kekerasan, tidak diberi nafkah dan ditinggal pergi[8].
Fenomena ini terjadi pada hukum keluarga Syiria dan Tunisia, kedudukan suami
dan istri adalah sama dalam perceraian, perceraian sepihak tidak jatuh dan
harus diucapkan dimuka pengadilan dan pernikahan yang diucapkan tiga kali
sekaligus (thallaq al-Battah) hanya
dihitung satu. Hal ini berbeda dengan
ketentuan mazhab klasik, karena dalam mazhab Maliki, talaq bisa jatuh hanya
dengan mengucapkan “talaqtuki” tanpa
harus ada campur tangan dari pihak hakim. Bahkan menurut imam Malik juga, talak
yang dijatuhkan suami karena keliru, lupa dan main-main adalah sah. Sementara
mazhab Hanafi bahwa setiap talaq yang dijatuhkan oleh suami dinyatakan sah
kecuali anak kecil, orang gila, atau orang idiot.
Apabila dilihat ketentuan-ketentuan tentang perceraian
dalam perundang-undangan Negara Islam yang telah melakukan pembaharuan dalam
bidang Hukum Keluarga Islam seperti Syiria dan Tunisia, maka akan tampak titik
keberanjakannya dari fiqih klasik yaitu yaitu setiap negara berusaha untuk
mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam fiqih
klasik yang lebih cenderung mempermudah terjadinya perceraian dan mengabaikan
hak-hak perempuan. Keberanjakan yang cukup signifikan adalah pemberdayaan
lembaga pengadilan dalam perceraian. Hal ini merupakan pembaharuan yang
terpenting dalam wacana Hukum Keluarga Islam. Sebab dalam fiqih klasik dengan
mengacu secara sciptural kepada teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah, suami adalah
“pihak yang menceraikan” (muthalliq)
sedangkan istri adalah pihak yang diceraikan (muthallaq). Istri hanya diberikan hak gugat cerai, namun itupun
masih disyaratkan ada persetujuan suami dan biaya tebusan (iwadh). Bahkan dalam mazhab Hanafi yang dikenal rasional istri
tidak mempunyai hak cerai, apapun alasannya.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian kaitannya dengan
perceraian, terutama di Tunisia adalah larangan permanen bagi laki-laki untuk
menikahi kembali perempuan yang telah diceraikan sebanyak tiga kali. Nampak
jelas ketentuan ini telah meninggalkan mazhab Syafi’i yang mengabsahkan
pernikahan “sementara” yang bertujuan menghalalkan berkumpulnya kembali
laki-laki pertama dengan mantan istrinya (nikah
tahlil). Keberanjakan dan perubahan menuju tata cara perceraian yang
manusiawi yang mengakui hak-hak kaum perempuan ini didasarkan pada spirit
al-Qur’an yang menyuruh suami untuk menceraikan istrinya dengan cara yang baik
dan adil[9].
DAFTAR
PUSTAKA
1. Istibsyaroh.
2004. Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender
menurut Tafsir Al-Sya’rawi). Jakarta: Teraju Mizan.
2. Nasution,
Khoiruddin. 2012. Hukum Perkawinan dan
Warisan di Dunia Muslim Modern. Yogyakarta: ACAdeMIA.
3. Nasution,
Khoiruddin. 2013. Hukum Perkawinan I.
Yogyakarta: ACAdeMIA.
4. Fadlilah,
Nur. 2005. Hak-Hak Perempuan Dalam
Perkawinan (Analisis Gender atas Kompilasi Hukum Islam Pasal 77-84).
Skripsi S1. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
5. Triantini,
Zusiana Elly. 2004. Hak-Hak Perempuan
Dalam Perkawinan (Studi Komparatif Pemikiran an-Nawawi al-Bantani dan Masdar
Farid Mas’udi). Skripsi S1. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
6. Nurhaidi.
2007. Hak-Hak Perempuan dalam Keluarga
Islam (Studi Atas Pemikiran Ashgar Ali Engineer dan M. Quraish Shihab).
Skripsi S1. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1]
Zusiana Elly Triantini,
Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan (Studi Komparatif Pemikiran An-Nawawi
Al-Bantani dan Masdar Farid Mas’udi), 2012. Hlm 29-31.
[2] Dr. Hj. Istibsyaroh, S.H., M.A.
Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi), (Jakarta: PT
Teraju Mizan, 2004). Hlm. 101-102.
[3]
Dr. Hj. Istibsyaroh, S.H.,
M.A. Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi), (Jakarta: PT
Teraju Mizan, 2004). Hlm. 103-104.
[4]
Prof. Khoiruddin Nasution,
Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA,
2012). Hlm. 138-140.
[5] Ibid. Hlm . 153-154.
[6]
Prof. Khoiruddin Nasution,
Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA,
2012). Hlm. 142-143.
[7]
Prof. Khoiruddin Nasution,
Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA,
2012). Hlm. 155-156.
[8] Ibid. Hlm. 148-150.
[9]
Prof. Khoiruddin Nasution,
Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA,
2012). Hlm. 158-159.