Advertisements

New Post

Rss

Selasa, 14 April 2015
no image

Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan

A.    Pengertian Hak-hak Perempuan Dalam Perkawinan.
Menurut etimologi hak berarti kekuasaan untuk melakukan sesuatu seperti yang tercantum dalam aturan dan dapat pula diartikan derajat atau martabat. Sedangkan perempuan berarti wanita atau istri, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti dihargai. Hamka memaknai perempuan dengan “empu” dan digambarkan sebagai empu jari yang berposisi sebagai penguat jari , dan jari tidak dapat memegang dengan kuat serta menggengggap erat bila empu jari tersebut tidak ada.
Secara etimologi perkawinan merupakan perjanjian yang resmi antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga yang pada hakekat nya terdapat rasa cinta kasih, kewajiban, pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Dimana kewajiban dalam perkawinan adalah kerjasama kedua belah pihak suami istri dalam mengarungin bahtera kehidupan.
Stereotype yang menyatakan bahwa tugas perempuan adalah melayani laki-laki dibanyak masyarakat terdahulu yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap pendidikan kaum perempuan yang di nomorduakan. Seringkali stereotype justru dilandaskan pada suatu keyakinan dan penfsiran keagamaan. Sehingga tidak saja memberikan legitimasi bagi masyarakat atau ummat untuk melakukan diskriminasi bahkan menjadi factor pendorong terjadinya diskriminasi.
Karena adanya angggapan bahwa perempuan itu bersifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga. Maka angggapan tersebut membawa akibat adanya anggapan bahwa pekerjaan domestic menjadi tanggung jawab perempuan. Mitos bahwa perempuan berada di sektor domestic dan laki-laki di sector public bermula dari dongeng-dongeng fiktif seperti Cinderella, putrid puncak cemara, tujuh bidadari yang kemudian dkembangkan menjadi opini masyarakat bahwa perempuan identik dengan kepasrahan, kepatuhan kepada laki-laki.
B.     Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Keluarga
Dalam sebuah perkawinan dan keluarga, perempuan lazim mendapatkan posisi sebagai istri dan ibu dari anak-anak yang mereka lahirkan. Sehingga posisis tersebut mempunyai beragam implikasi yang menyangkut hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam sebuah keluarga. Sebagai seorang istri, perempuan memunyai beragam hak, mulai dari mendapatkan mahar ketika menikah, hak memperoleh nafkah, hak untuk meminta cerai, hingga hak untuk bekerja dan mencukupi kebutuhankeluarga. Sedangkan sebagai seorang ibu, mereka mempunyai hak dan kewajiban untuk mengasuh dan memberikan pendidkan terhadap anak-anaknya. Disamping itu perempuan juga memperoleh hak untuk mendapatkan tempat tinggal bersama-sama anak-anaknya.
Perempuan ketika menikah maka dia akan menjadi isti dari seorang suami. Lebih daripada itu, dalam Kompilasi Hukum Islamditegaskan bahwa suami adalah kepala rumah tangga an istri adalah ibu rumah tangga. Dalam aturan islam, seorang istri mempunyai peran yang signifikan dalam kehidupan rumah tangga bersama suaminya. Akan tetapi, peran istri seringkali direduksi menjadi semata-mata ibu rumah tangga dalam artian sempit karena mereka mendapatkan nafkah dari suaminya. Sehingga dengan melihat posisi peremuan yang hanya menerima mahar dan nafkah dari suaminya  seringkali membuat perempuan terlempar dari posisinya sebagai makhluk bebas menjadi “hamba” suami. Pandangan tersebut sebetulnya lebih dipengaruhi oleh tradisi yang sangat berbasis patriarkhi daripada pandangan agama. Islam sebagai agama yang memberikan kebebasan sangat menghargai perempuan. Ia memberikan kesempatan yang besar kepada perempuan untuk mengaktualisasikan diri termasuk dalam keluarga.
Sementara sebagai seorang ibu, perempuan mempiunyai tugas yang mulia sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya. Peran pendidik tersebut membutuhkan bekal kemampuan yang cukup sehingga anak-anak yang berada pengasuhannya tidak akan terlantar dan mendapatkan pengetahuan yang cukup untk menjalani hidup. Peran tesebut merupakan sumbangan terbesar yang diberikan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana yang penah di publikasikan oleh WHO.
Namun kedudukan perempuan yang ada selama ini tidak pernah membedakan perempuan yang menempuh perkawinan monogami dengan poligami. Kedudukan dan peran perempuan dalam perkawina monogami cenderung hanya membandingkan dan memposisikannya sebanding dengan suami. Akan tetapi, kedudukan dan peran perempuan dalam perkawinan poligami akan lebih rumit, karena perempuan tidak hanya ada bersama suami tetapi dia juga ada dan bersama istri-istri yang lainnya. Hal itu terutama menyangkut hak-hak yang semestinya mereka dapatkan. Beberapa hal berkaitan dengan suami memang bisa disamakan, apakah perkawinan tersebut monogami atau poligami, seperti mahar dan nafkah lahir. Tetapi mengenai kasih saying atau nafkah batin, pembagian waktu, kedudukan istri pertama dan istri-istyri ang lain tentu berbeda. Islam mensyaratkan seorang suami harus berlaku adil terhadap istri-istrinya, akan tetapi dalam berbagai tradisi yang berkembang, istri pertama kalau tidak isri yang terakhir, cenderung mendapatkan poisisi yang lebih dibandingkan istri-istri yang lain. Istilah “putra mahkota” sering diberikan kepada anak yang lahir dari istri pertama. Inilah yang tidak diperbolehkan oleh islam dalam aq-Qur’an surat an-Nisa’: 129.
C. Hak-Hak Perempuan Dalam Perkawinan.
Perempuan sebagai manusia didalam perkawinan, juga mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh hukum teutama Hukum Keluarga Islam sehingga didalam perkawinan tujuan utama dari perkawinan dapat terpenuhi dengan sempurna, yaitu terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah dan penuh rahmat, hak-hak perepmpuan diatas meliputi :
1. Hak Dalam Memilih Pasangan.
            Terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa disamping manusia diciptakan Allah mempunyai bentuk yang sebaik-baiknya, mempunyai tugas untuk beribadah kepada Allah, berusaha untuk mencari ilmu dan sebagainya, manusia diberi pula hak memilih untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan dirinya cita-cita dan agamanya, sehingga dengan demikian diharapkan ia akan mencapai tujuan hidupnya, bahagia dunia dan akhirat.
            Selama ini pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini kemudian memunculkan asumsi bahwa Islam membenarkan adanya kawin paksa. Pemahaman ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak ijbar. Hak Ijbar dipahami oleh banyak orang memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.
            Menurut bahasa Ijbar berarti mewajibkan atau memaksa agar mengerjakan. Ijbar adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggungjawab. Istilah ijbar dikenal dalam fiqh Islam dalam kaitannya dengan perkawinan. Dalam fiqh Mazhab Syafi’i orang yang mempunyai kekuasaan atau hak ijbarini adalah ayah atau (kalau tidak ada ayah) kakek. Sehingga, apabila seorang ayah dikatakan sebagai wali mujbir, maka dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan atau hak untuk mengawinkan anak perempuannya, meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan, dan perkawinan ini dipandang sah secara hukum. Hak ijbar sebenarnya dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggung jawab ayah terhadap anaknya, karena keadaan dirinya yang dianggap belum atau tidak memiliki kemampuan atau lemah untuk bertindak.
            Hak memilih pasangan merupakan salah satu hak seorang manusia disamping hak-hak yang lain. Manusia tidak dapat dipaksa dengan haknya tersebut, kecuali jika dalam melaksanakan haknya tersebut terdapat sesuatu hal yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Pengambilan hak seseorang hanyalah dapat dilakukan dengan dasar kerelaan dan persetujuan.
            Wahbah az-Zuhaili, mengutip pendapat para ulama mazhab fiqh yang mengatakan “Adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka berdua. Jika salah satunya dipaksa secara ikrah dengan suatu ancaman misalnya membunuh atau memukul atau memenjarakan, maka akad perkawinan tersebut menjadi fasad (rusak)”. Kesakinahan dalam keluarga baru terwujud bila antara masing-masing pihak terjalin cinta dan kasih sayang yang mendalam. Hal ini mungkin tidak datang secara tiba-tiba, melainkan harus diawali sejak dini, yakni jauh sebelum melangkah ke perkawinan.
            Untuk mendapatkan kesesuaian kedua calon mempelai, Islam memberikan hak yang sama dalam menentukan jodoh. Dengan demikian wanita bebas untuk menentukan pilihan menolak atau menerima pinangan seseorang, atau pilihan orang tuanya, jika ternyata pilihan orang tuanya tersebut tidak sesuai dengan harkat dan martabat si perempuan terutama dalam bidang agama.
            Bagaimanapun perkawinan adalah hal yang harus dijalani secara ikhlas, sehingga makna dari perkawinan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Hal tersebut dapat terwujud apabila antara kedua calon mempelai saling menerima dengan tulus kehadiran pasangannya[1].
2. Hak Mendapatkan Maskawin (Mahar).
            Konsep tentang maskawin/mahar adalah menjadi bagian yang essensial dalam pernikahan. Tanpa maskawin/mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan pernikahan dengan benar. Maskawin/mahar adalah menjadi hak eksklusif perempuan. Perempuan berhak menentukan jumlahnya dan menjadi harta pribadinya. Disisi lain al-Quran memerintahkan kepada laki-laki yang akan menikahi perempuan dengan memberi maskawin/mahar, karena memperoleh keuntungan. Al-Qur’an menjelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 24 sebagai berikut : “Dan(diharamkan juga kalian mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian (yaitu) mencari istri dengan harta kalian untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang bagi kalian telah merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
            Asbab al-Nuzul ayat tersebut, dalam riwayat lain dikemukakan bahwa, orang Hadrami membebani kaum lelaki dalam membayar mahar dengan harapan dapat memberatkannya (sehigga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah ayat tersebut diatas sebagai ketentuan pembayaran mahar atas kerelaan kedua pihak.[2] Sementara itu, Murtadla Muthahhari berpendapat dalam bukunya Hak-Hak Wanita dalam Islam sebagai berikut “mahar adalah hak milik perempuan itu sendiri, bukan milik ayah atau saudara laki-lakinya. Al-Qur’an telah menunjukkan tiga pokok dasar dalam ayat ini. Pertama, mahar disebut sebagai shaduqah, tidak disebut mahar. Shaduqah berasal dari kata shadaq, mahar adalah sidaq atau shaduqah karena ia merupakan suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih. Kedua, kata ganti hunna (orang ketiga jamak feminim) dalam ayat ini berarti bahwa mahar itu menjadi hak milik perempuan itu sendiri bukan hak ayahnya, ibunya atau keluarganya. Ketiga, nihlah (dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan), menjelaskan dengan sempurna bahwa mahar tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai pemberian hadiah.” Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, perempuan kalau akan menikah berhak mendapat mahar dari calon suaminya yang tidak ditentukan besar kecilnya karena disesuaikan dengan kemampuan calon suami.
            Mahar harus ditentukan jumlahnya terlebih dahulu sebelum menikah meskipun cara membayarnya dengan hutang artinya dibayar nanti. Sebab kalau belum menentukan jumlah mahar sebelum menikah, ketika akan cerai ia (suami) tidak mau membayarnya atau mau membayar tetapi dalam jumlah yang sedikit karena ia (suami) sudah merasa tidak senang.
            Maharnya Fatimah binti Rasulullah SAW adalah baju besinya Ali Karramallahu Wajhah, karena Ali tidak memiliki selainnya. Lalu ia menjualnya, kemudian diberikan kepada Fatimah sebagai mahar. Ada juga diantara perempuan Sahabiyyah yang maharnya berupa cincin besi, ada juga yang maharnya berupa ayat-ayat al-Qur’an yang kemudian diajarkan oleh suaminya. Dari penjelasan tersebut diatas, maka mahar dianggap sebagai sesuatu yang urgen dalam pernikahan karena mahar menunjukkan keseriusan dan kecintaan calon suami kepada calon istrinya[3].
3. Hak Dalam Memberikan Nafkah.
            Al Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya, meskipun istri mempunyai kekayaan dan pendapatan. Istri tidak diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas jerihnya sendiri.
            Adapun sebab wajib nafkah atas suami kepada istri adalah, karena dengan selesainya akad yang sah, wanita menjadi terikat dengan  hak suaminya, yaitu untuk menyenangkan nya, wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal dirumah untuk mengurusi rumah tangganya mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka sebagai imbalan yang demikian Islam mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya.
            Nafkah suami terhadap istri selama perkawinannya itu dibangun atas akad yang sah, terlepas istrinya muslim atau tidak, kaya atau miskin. Kewajiban ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. Perintah pemberian nafkah ini berdasarkan al-Quran, al-Sunnah, al-Qiyas, dan al-Ijma’. Harus dicatat bahwa memberi nafkah meliputi sandang, pangan dan papan. Tentang tempat tinggal, al-Quran mengatakan “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isti-istri yang sudah dithalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
            Untuk makanan dan pakaian, al-Quran meminta suami menyediakannya bagi ibu dan anak-anaknya sebagaimana dijelaskan “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”[4].
            Namun ketentuan-ketentuan diatas tidaklah bersifat kaku, karena di didalam kasus-kasus tertentu Hukum Islam tidak melarang istri membantu suaminya dalam mencari nafkah. Seperti dalam kasus negara Syiria dan Tunisia, undang-undang kedua negara tersebut telah melakukan begitu mendetail masalah nafkah ini. Lingkup pembiayaan nafkah tidak hanya terbatas pada sandang, pangan dan papan melainkan juga meliputi biaya-biaya pengobatan. Bahkan perbedaan agama istri tidak menjadi penghalang akan wajibnya nafkah ini. Dan lebih ekstrem lagi bahwa pengabaian kewajiban ini bisa menjadi salah satu alasan istri memohon perceraian.
            Dalam masalah ini, kedua negara ini telah melakukan terobosan yang signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri untuk menuntut hak nafkahnya yang begitu luas. hal ini berbeda dengan pandangan para ulama mazhab dimana biaya pengobatan bukan menjadi tanggung jawab suaminya. Menurut mereka biaya pengobatan menjadi tanggungannya sendiri atau keluarganya, karena obat-obatan tidaklah merupakan kebutuhan pokok, mereka menganalogkannya dengan makanan cuci mulut. Makanan jenis ini tidak harus ada atau disediakan. Hal ini disebebkan karena kondisi masyarakat pada waktu itu secara umum tidak memerlukan pengobatan seperti sekarang ini. Akan tetapi, dewasa ini kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan telah menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Wahbah az-Zuhaili menolak pandangan ulama mazhab empat diatas. Menurutnya nafkah untuk kesehatan adalah termasuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Pemberian nafkah kesehatan merupakan bentuk dari mu’asyarah bi al-ma’ruf. Katanya: bukanlah m’asyarah bi al-ma’ruf namanya, kalau suami dalam keadaan istrinya sehat dapat bersenang-senang (istimta’), tetapi manakala ia sakit, lalu mengembalikannya kepada keluarga. Ilustrasi yang dibuat oleh Wahbah az-Zuhaili ini selaras dengan aturan di Syiria, Tunisia, bahkan Mesir tentang hak perempuan (istri) dalam nafkah[5].
4. Hak Dalam Poligami.
Salah satu persoalan fikih munakahat yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi ramai dan pelik adalah masalah poligami. Pelik terutama bagi perempuan. Islam sendiri “gara-gara” pesan tekstual tentang pembolehan poligami pembolehan poligami dalam al-Qur’an, kerap dikecam sebagai anti demokrasi dan HAM dalam kehidupan suami-istri karena poligami dilihat sebagai salah satu bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan.
Tuduhan klasik bahwa al-Quran memperlakukan perempuan secara tidak adil karena memperbolehkan poligami masih saja diajukan orang. Tujuan ini juga sering dikaitkan kepada Nabi Muhammad saw yang juga melakukan poligami bahkan istrinya konon sampai sembilan. Menurut Riffat Hassan masalah terebut merupakan problem yang tak kunjung selesai. Namun perlu dicatat, dalam al-Quran hanya ada satu ayat yaitu an-Nisa ayat 3 yang berbicara poligami. Akan tetapi ayat tersebut sering diartikan secara keliru oleh kebanyakan mufassir, untuk tidak mengatakan semuanya[6]. Sebenarnya pesan yang hendak disampaikan dalam ayat tersebut adalah tentang pentingnya menyantuni anak yatim yang ditinggal mati oleh Bapaknya, sehingga dahulu karena ayat ini turun pada saat setelah selesai Perang Uhud yang memakan banyak korban dari laki-laki, maka turunlah ayat ini untuk menyantuni anak yatim dengan cara menikahi ibunya, sehingga nafkah dapat ditanggung oleh  laki-laki yang menikahi ibunya tersebut.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hak dan martabat status kaum perempuan, poligami telah dianggap sebagai suatu upaya eksploitasi wanita demi kebutuhan biologis kaum Adam. Sementara bagi kaum Adam pada umumnya, poligami adalah sesuatu yang legal dan telah dipraktekkan oleh Nabi. Meskipun Nabi mempraktekkannya, tidak semua ulama berpendapat seragam, sebagian dari mereka ada yang menolak kebolehannya. Seperti Ulama-ulama diberbagai negara Muslim Modern seperti Syiria dan Tunisia, bahkan negara terebut memasukkan aturan poligami dalam undang-undang negara mereka secara rinci untuk melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan. Seperti terlihat dari Negara Syiria yang membolehkan poligami tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan sangat tergantung pada izin dari pengadilan. Hal ini ada keberanjakan dari pemikiran mazhab klasik yang notabene membolehkan meskipun dengan syarat harus yang tidak mungkin terpenuhi, keadilan dalam kasih sayang, perasaan cinta dan sebagainya.
Lain halnya dengan negara Tunisia, negara ini secara radikal telah melarang praktek poligami ini. Larangan ini sebagai hal lain yang dibicarakan di atas, dipandang sebagai akibat dari pengaruh kolonial barat. Para ahli Hukum Islam Tunisia sebenarnya menyandarkan pandangannya pada al-Qur’an dan sumber-sumber hukum dasar lainnya dalam melarang poligami. Meskipun demikian, barangkali ada benarnya juga apabila keinginan mereka untuk melakukan uji ulang atas ijtihad terdahulu dalam persoalan ini dipengaruhi oleh pengaruh eksternal Barat. Bahkan, dengan analisis tradisional sekalipun, ada pendekatan hukum yang memungkinkan wanita menolak poligami dalam perkawinannya sendiri.
Langkah Syiria dan Tunisia ini dianggap paling berani dan telah mengalami keberanjakan dari doktrin mazhab Maliki dan Syafi’i yang memberikan kebebasan yang luas bagi laki-laki untuk berpoligami. Syaratnya hanya dua, yaitu adil dan maksimal empat orang istri. Tak ada persyaratan apapun selain dua hal itu. Jadi dalam masalah poligami, Tunisia telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam mengangkat dan memelihara derajat kaum perempuan dari tindakan kesewenang-wenangan kaum lelaki. Sebab poligami pada hakikatnya merupakan bentuk penghinaan terhadap perempuan. Sebab mana ada perempuan yang rela dan bersedia dimadu-sebagaimana halnya laki-laki, mana ada yang rela dan bersedia untuk dimadu. Karena poligami menimbulkan kerawanan terhadap pelecehan hak-hak kaum perempuan[7].
5. Hak dalam Perceraian.
            Perceraian diperbolehkan dalam Islam karena pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan baik karena kehendak keduanya atau karena kehendak salah satu pihaknya. Bertentangan dengan kepercayaan umum, Islam juga memperbolehkan perempuan mempunyai hak cerai. Seorang perempuan dapat membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang dikenal dengan khulu’. Walaupu Islam membolehkan, tapi ketentuan ini nampaknya ambigu. Talak dan umumnya putusan perkawinan walaupun dihalalkan, tetapi merupakan hal yang tidak disukai oleh Allah. Sebagai ajaran moral ilahiyyah, Islam sangat tidak menyukai peceraian. Secara moral, perceraian adalah sebuah pengingkaran. Akan tetapi, sadar bahwa tidak mungkin perceraian sama sekali dihindari dalam kehidupan yang nisbi ini, maka dengan penuh penyesalan, demi alasan yang sangat khusus, Islamun terpaksa menerima kemungkinan tejadinya. Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW yang penuh ambiguitas.
            Ambiguitas ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mempersulit peluang terjadi perceraian kecuali dalam keadaan terpaksa atau ada qarinah yang dijustifikasi oleh syara’. Masih dalam konteks pemeliharaan harmonisasi ikatan perkawinan, Islam kemudian memberikan peluang restrukturisasi ikatan yang telah terkoyak oleh talak melalui prosedur rujuk. Rujuk adalah pemulihan perkawinan dengan cara suami mengambil kembali bekas istri kepada ikatan perkawinan semasa iddah berlangsung. Dalam masalah talaq ini hukum Islam memperlakukan perempuan jauh lebih baik, lebih manusiawi dan lebih berprikeadilan ketimbang doktrin agama dan kebudayaan lain. Dengan ungkapan lain, Anderson mencatat, sebelum kedatangan Islam, wanita tidak mempunyai wewenang untuk mentalaq dan juga tidak mempunyai hak untuk menceraikan dirinya dari suaminya, kecuali suami memberikan hak talaq itu (thalaq tafwid). Dengan kedatangan Islam, terjadilah perubahan dalam konsep talaq. Perubahan tersebut bertujuan untuk membatasi hak talaq suami dan selanjutnya memberikan pada pertimbangan yang logis dan bukan bersifat sepihak.
            Dalam upaya mereformasi bidang hukum keluarga banyak negara Islam yang tetap mempertahankan hak suami untuk menceraikan istrinya sembari memberi kebebasan yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk meminta cerai dalam kasus kekerasan, tidak diberi nafkah dan ditinggal pergi[8]. Fenomena ini terjadi pada hukum keluarga Syiria dan Tunisia, kedudukan suami dan istri adalah sama dalam perceraian, perceraian sepihak tidak jatuh dan harus diucapkan dimuka pengadilan dan pernikahan yang diucapkan tiga kali sekaligus (thallaq al-Battah) hanya dihitung satu.  Hal ini berbeda dengan ketentuan mazhab klasik, karena dalam mazhab Maliki, talaq bisa jatuh hanya dengan mengucapkan “talaqtuki” tanpa harus ada campur tangan dari pihak hakim. Bahkan menurut imam Malik juga, talak yang dijatuhkan suami karena keliru, lupa dan main-main adalah sah. Sementara mazhab Hanafi bahwa setiap talaq yang dijatuhkan oleh suami dinyatakan sah kecuali anak kecil, orang gila, atau orang idiot.
            Apabila dilihat ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam perundang-undangan Negara Islam yang telah melakukan pembaharuan dalam bidang Hukum Keluarga Islam seperti Syiria dan Tunisia, maka akan tampak titik keberanjakannya dari fiqih klasik yaitu yaitu setiap negara berusaha untuk mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam fiqih klasik yang lebih cenderung mempermudah terjadinya perceraian dan mengabaikan hak-hak perempuan. Keberanjakan yang cukup signifikan adalah pemberdayaan lembaga pengadilan dalam perceraian. Hal ini merupakan pembaharuan yang terpenting dalam wacana Hukum Keluarga Islam. Sebab dalam fiqih klasik dengan mengacu secara sciptural kepada teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah, suami adalah “pihak yang menceraikan” (muthalliq) sedangkan istri adalah pihak yang diceraikan (muthallaq). Istri hanya diberikan hak gugat cerai, namun itupun masih disyaratkan ada persetujuan suami dan biaya tebusan (iwadh). Bahkan dalam mazhab Hanafi yang dikenal rasional istri tidak mempunyai hak cerai, apapun alasannya.
            Hal lain yang perlu mendapat perhatian kaitannya dengan perceraian, terutama di Tunisia adalah larangan permanen bagi laki-laki untuk menikahi kembali perempuan yang telah diceraikan sebanyak tiga kali. Nampak jelas ketentuan ini telah meninggalkan mazhab Syafi’i yang mengabsahkan pernikahan “sementara” yang bertujuan menghalalkan berkumpulnya kembali laki-laki pertama dengan mantan istrinya (nikah tahlil). Keberanjakan dan perubahan menuju tata cara perceraian yang manusiawi yang mengakui hak-hak kaum perempuan ini didasarkan pada spirit al-Qur’an yang menyuruh suami untuk menceraikan istrinya dengan cara yang baik dan adil[9].
                                          
















DAFTAR PUSTAKA

1.      Istibsyaroh. 2004. Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi). Jakarta: Teraju Mizan.
2.      Nasution, Khoiruddin. 2012. Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern. Yogyakarta: ACAdeMIA.
3.      Nasution, Khoiruddin. 2013. Hukum Perkawinan I. Yogyakarta: ACAdeMIA.
4.      Fadlilah, Nur. 2005. Hak-Hak Perempuan Dalam Perkawinan (Analisis Gender atas Kompilasi Hukum Islam Pasal 77-84). Skripsi S1. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
5.      Triantini, Zusiana Elly. 2004. Hak-Hak Perempuan Dalam Perkawinan (Studi Komparatif Pemikiran an-Nawawi al-Bantani dan Masdar Farid Mas’udi). Skripsi S1. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
6.      Nurhaidi. 2007. Hak-Hak Perempuan dalam Keluarga Islam (Studi Atas Pemikiran Ashgar Ali Engineer dan M. Quraish Shihab). Skripsi S1. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.




[1] Zusiana Elly Triantini, Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan (Studi Komparatif Pemikiran An-Nawawi Al-Bantani dan Masdar Farid Mas’udi), 2012. Hlm 29-31.
[2] Dr. Hj. Istibsyaroh, S.H., M.A. Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi), (Jakarta: PT Teraju Mizan, 2004). Hlm.  101-102.
[3] Dr. Hj. Istibsyaroh, S.H., M.A. Hak-Hak Perempuan (Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi), (Jakarta: PT Teraju Mizan, 2004). Hlm.  103-104.
[4] Prof. Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012). Hlm. 138-140.
[5] Ibid. Hlm . 153-154.
[6] Prof. Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012). Hlm. 142-143.
[7] Prof. Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012). Hlm. 155-156.
[8] Ibid. Hlm. 148-150.
[9] Prof. Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012). Hlm. 158-159.
no image

Subyek Tindak Pidana

PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, makhuk yang tidak bisa terlepas dari orang lain, artinya dia selalu membutuhkan dan akan selalu berinteraksi dengan orang lain disekililingnya disetiap kehidupannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Selain itu manusia juga hidup dengan berbagai kepentingan dan ambisinya, yang terkadang kepentingan dan ambisi ini selalu bergesek dengan kepentingan dan ambisi orang lain. Terkadang mereka tidak sadar bahwa kepentingan-kepentingan mereka yang sangat banyak itu tidak akan mampu terpenuhi semuanya, hanya sebagian saja yang dapat terpenuhi, sehingga mereka melakukan hal-hal yang berada diluar nurani manusia dan mereka lupa bahwa ditengah-tengah kehidupan mereka juga terdapat aturan-aturan hukum. Tak terkecuali hukum pidana, hukum yang mengatur tentang tindak pidana dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Didalam hukum tersebut diatur pasal demi pasal mengenai tindak pidana. Tindak pidana sendiri mempunyai unsur-unsur, mempunyai jenis-jenis, mempunyai subyek yang selayaknya bahkan harus kita ketahui sebagai manusia agar kita tahu batasan-batasan dan tindak menyesal dikemudian hari karena tindakan kita. Atas dasar masalah yang diuraikan diatas itulah makalah ini disusun, disamping itu adalah untuk memenuhi tugas individu dalam mata kuliah Hukum Pidana.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana itu ?
2.      Apa sajakah unsur-unsur tindak pidana itu ?
3.      Ada berapakah jenis-jenis dari tindak pidana ?
4.      Apa dan siapakah yang dimaksud sebagai subyek tindak pidana ?
C.     Tujuan Masalah.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana.
2.      Untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana.
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis tindak pidana.
4.      Untuk mengetahui subyek tindak pidana.
D.     Metode Penulisan.

Metode penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka .

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tindak Pidana.
 Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan Strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana[1]. Istilah  tindak pidana sebagai terjemahan dari Strafbaarfeit adalah diintrodusir oleh pihak Pemerintah seperti Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya : Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan lain-lain. Tindak pidana dapat diartikan atau didefinisikan sebagai segala setiap tindakan atau perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana jika dilakukan. Pengertian tindak pidana diatas menunjukkan pengertian gerak gerik tingkah laku dan gerak gerik jasmani seseorang.
Disamping hal itu terdapat pula perbuatan seseorang untuk tidak berbuat akan tetapi dengan tidak berbuatnya ia, ia telah melakukan tindak pidana. Timbul pertanyaan, dimanakah kita bisa membuktikan ia telah melakukan tindak pidana, hal ini bisa kita lihat dari :
1.      Dari undang-undang.
Dimana undang-undang mewajibkan ia berbuat tetapi ia tidak berbuat, contoh :
-          Pasal 522 KUHP, dimana undang-undang mewajibkan ia untuk menjadi saksi.
-          Pasal 164 KUHP, dimana undang-undang mewajibkan ia untuk melapor kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan.
2.      Berdasarkan Jabatan.
Dimana jabatan seseorang mewajibkan ia untuk berbuat tetapi ia tidak berbuat, contoh : penjaga wesel kereta api.
3.      Berdasarkan perjanjian
Dimana berdasarkan dimana kalau ada perjanjian antara kedua belah pihak ia harus berbuat ia tidak berbuat, ia telah melakukan tindak pidana.
Didalam perundang-undangan negara kita dapat pula diumpai istilah-istilah lain yang maksudnya juga strafbaar feit, misalnya :
1.      Peristiwa Pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 14 ayat 1).
2.      Perbuatan Pidana (Undang-Undang Dasar No. 1 Tahun 1951, undang-undang mengenai : Tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, pasal 5 ayat 3b.
3.      Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang perubahan ordonantie tijdelijke byzondere straf bepalingan S 1948-17 dan Undang-undang RI (dahulu) No. 8 Tahun 1948 pasal 3.
4.      Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman ( Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951, tentang penyelesaian perburuhan, pasal 19, 21, 22).
5.      Tindak Pidana (Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi pasal 1.)
Menurut apa yang disebutkan diatas, Prof. Soedarto, SH berpendapat bahwa, pembentuk undang-undang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai “Sosiologische gelding[2].
B.     Unsur-Unsur Tindak Pidana.
Seandainya kita berusaha menjabarkan rumusan-rumusan delik atau tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia, dengan tersebut ia telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan suatu undang-undang.  Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana suatu perbuatan dapat berupa “melakukan sesuatu” atau “en niet doen”, yang terakhir ini menurut doktrin sering disebut sebagai “een nalaten”, yang juga berarti mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang). Akan tetapi Strafbaarfeit itu oleh Hoge Raad juga pernah diartikan bukan suatu tindakan melainkan sebagai suatu peristiwa atau suatu keadaan. Dimana Hoge Raad telah menjumpai sejumlah tindak pidana di bidang perpajakan yang terdiri dari peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan, dimana seseorang itu harus dipertanggung jawabkan atas timbulnya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan tersebut tanpa ia telah melakukan suatu kealpaan atau tanpa adanya orang lain yang melakukan kealpaan, sehingga ia harus dipertanggung jawabkan menurut hukum pidana. Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat kita bagi menjadi dua unsur, yaitu :
1.      Unsur Subyektif.
Unsur subyektif adalah unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya[3]. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act doesnt make a reason guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea).  Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (dolus) dan kealpaan/ketidak sengajaan (culpa). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni :
1)      Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
2)      Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzjin)
3)      Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantualis)
Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni :       
1)      Tak berhati-hati
2)      Dapat menduga akibat perbuatan itu.

2.      Unsur obyektif.
Unsur obyektif adalah unsur yang terletak di luar diri si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :
a.       Perbuatan manusia, berupa :
1)      Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif.
2)      Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
b.      Akibat (result) perbuatan manusia.
Akibat terebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
c.       Keadaan-keadaan (Circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :
1)      Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
2)      Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

d.      Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Semua unsur delik atau tindak pidana tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari pengadilan.
Para pakar hukum mempunyai pendapat tersendiri mengenai unsur-unsur delik atau tindak pidana, seperti menurut Prof. Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa :
a.       Suatu tindakan,
b.      Suatu akibat,
c.       Keadaan (omstandigheid).
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa :
a.       Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid)
b.      Kesalahan (schuld).[4]
Menurut Prof. Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Disamping kelakuan dan akibat untuk adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.[5]
Menurut Lamintang, unsur delik atau tindak pidana terdiri atas dua macam, yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa).
2.      Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
3.      Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
4.      Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.
5.      Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana menurut Lamintang adalah sebagai berikut :
1.      Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.
2.      Kualitas dari sang pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP.
3.      Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.[6]
Mencermati pendapat para pakar di atas tentang unsur-unsur tindak pidana, maka pendapat Prof. Satochid Kartanegara yang memasukkan toerekeningsvatbaarheid sebagai unsur subjektif kurang tepat. Hal ini karena tidak semua ontoerekeningsvatbaarheid bersumber dari diri pribadi si pelaku, namun antara lain dapat bersumber dari overmacht atau ambtelijk bevel (pelaksanaan perintah jabatan).
Pendapat Lamintang yang menjelaskan bahwa unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pribadi si pelaku adalah tepat, tetapi apa yang tersebut pada butir 2, 3, dan 4, unsur subjektif, pada hakikatnya termasuk jenis “kesengajaan” pula.[7]
C.     Jenis-Jenis Tindak Pidana.
Setelah selesai mencoba menjabarkan beberapa tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya dan berusaha untuk memberikan arti yang setepat-tepatnya kepada unsur-unsur tersebut, marilah kini kita melihat kepada beberapa pembagian yang terpenting dari tindak pidana, baik yang telah dilakukan oleh para ahli hukum pidana di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.
Para pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita yang berusaha untuk menemukan suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis tindakan melawan hukum, semula telah membuat suatu pembagian ke dalam apa yang mereka sebut rechtsdelicten dan apa yang mereka sebut wetsdelicten.
Sesuai dengan penjelasannya di dalam Memorie van Toelichting, pembagian di atas itu telah didasarkan pada sebuah asas yang berbunyi :
a.       Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa memang terdapat sejumlah tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas untuk dihukum, walaupun tindakan-tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Akan tetapi juga terdapat sejumlah tindakan-tindakan, dimana orang pada umumnya baru mengetahui sifatnya dari tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum, yaitu setelah tindakan-tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Yang  dimaksud dengan “rechtsdelicten” adalah delik-delik seperti yang dimaksud di dalam huruf a di atas, yakni karena delik-delik semacam itu adalah bertentangan dengan hukum yang tertulis, sedang yang dimaksud dengan “wetsdelicten”  itu adalah delik-delik yang memperoleh sifatnya sebagai tindakan-tindakan yang pantas untuk dihukum, oleh karena dinyatakan demikian di dalam peraturan-peraturan undang-undang.
Seperti yang kita lihat di atas, pembagian dari tindak pidana ke dalam dua jenis tindakan melawan hukum itu bukan merupakan sesuatu yang baru di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, demikian halnya dengan pembagian yang dewasa ini kita kenal sebagai pembagian di dalam tindakan-tindakan yang oleh para pembentuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita trlah disebut sebagai kejahatan-kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran-pelanggaran (overtredingen).[8]
Di samping jenis delik/tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang terdapat di dalam KUHP, ilmu pengetahuan hukum pidanapun mengenal beberapa jenis delik atau tindak pidana antara lain :
1.      - Delik Formil (formele delicten)
- Delik Materiil (materiele delicten)
Yang  dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah “voltooid” atau penuh/selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan undang-undang.
Contohnya :
-          Pasal 242 KUHP : Sumpah Palsu, dalam hal ini yang dilarang adalah memberikan keterangan sumpah palsu.
-          Pasal 263 KUHP : Pemalsuan surat.
-          Pasal 362 KUHP : Pencurian yang melarang mengambil barang orang lain.
Yang dimaksud dengan delik materiil adalah delik dianggap telah penuh atau selesai (voltocid), apabila perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Contoh :
-          Pasal 338 KUHP : Pembunuhan
Dalam perbuatan  ini yang dilarang adalah menimbulkan matinya orang lain. Dalam perbuatan ini tidak dinyatakan dengan tegas bagaimana sifat perbuatannya yang menimbulkan matinya orang lain. Perbuatan ini dapat berupa : memukul, menikam dengan pisau, menembak, meracun dan sebagainya. Akan tetapi yang dilarang dalam delik bukan perbuatannya tetapi akibat dari perbuatan itu yaitu matinya orang lain.
2.      - Delik komisionis (commissie delicten)
- Delik Ommisionis (ommissie delicten)
- Oneigenlijke commisie delicten
Yang  dimaksud dengan delik komisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yang terdiri dari perbuatan-perbuatan yang terjadi karena melakukan suatu perbuatan. Contoh delik ini dapat berupa :
a.       Delik Formil : pasal 362 KUHP tentang pencurian
b.      Delik Materil : Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Yang dimaksud dengan delik Omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran tehadap suatu keharusan yang terjadi karena dilalaikannya suatu perbuatan, jadi dari suatu kelalaian. Contoh pasal 164 KUHP.
Yang dimaksud dengan Oneigenlijke commisie delicten adalah pada umumnya delik dilakukan dengan suatu perbuatan akan tetapi terdapat juga suatu delik yang dilakukan tidak dengan melakukan suatu perbuatan. Contoh adalah sebagai berikut :
-          Seorang penjaga palang pintu kereta api tertidur dan lupa tidak menutup palang pintu jalan pada waktu kereta lewat, akibatnya terjadi kecelakaan.
3.      - Delik Sederhana (eenvoudige delicten)
- Delik Berkualifikasi (gequalificeerde delicten)
- Geprevelegeerde delicten.
Yang dimaksud dengan delik sederhana adalah delik yang terdiri dari delik pokok beserta unsur-unsurnya. Contohnya : Pasal 362 KUHP tentang pencurian yang unsur-unsurnya adalah sesuatu barang, barang harus sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, mengambil, dan secara melawan hukum.
Delik berkualifikasi adalah delik yang terdiri atas delik pokok beserta unsur-unsurnya ditambah dengan unsur-unsur lain, sehingga mengakibatkan ancaman pidananya diperberat. Contohnya adalah : pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 363 KUHP tentang pencurian berat, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan Geprevelegeerde delicten adalah delik yang terdiri dari delik pokok beserta unsur-unsurnya ditambah dengan unsur-unsur lain yang mengakibatkan ancaman pidananya diperingan. Contohnya adalah dalam pasal 341 KUHP.
4.      - Delik Aduan (klaschtdelicten).
- Delik Biasa (gewonedelicten).
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Contoh : pasal 248 KUHP.
Delik biasa adalah delik yang penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan yang bersangkutan, cukup apabila ia telah melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang.
5.      - Delik Umum (politike delicten)
- Delik Khusus (delicten propia)
Delik umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan yang dimaksud dengan delik khusus adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Contoh delik khusus adalah dalam Titel XXVIII Buku II KUHP : kejahatan dalam jabatan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
6.      - Delik Politik (politike delicten)
- Delik Komune (commune delicten)
Yang dimaksud dengan delik politik adalah delik yang ditujukan terhadap keamanan negara atau keamanan kepala negara. Contoh : pasal 104 dan 106 KUHP. Sedang yang dimaksud dengan delik komune adalah delik yang tidak ditujukan terhadap keamanan negara atau keselamatan kepala negara.
7.      - Delik berdiri sendiri (zelfstande delicten)
- Delik lanjutan (voorgrezette delicten)
Delik berdiri sendiri adalah delik yang terdiri dari satu perbuatan, sedangkan yang dimaksud dengan delik lanjutan adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan yang satu sama lainnya mempunyai hubungan yang erat, sehingga dianggap kelanjutan satu sama lain. Contoh : dalam pasal 64 KUHP.
8.      - Delik Tunggal (enkelvoudige delicten)
- Delik Bersusun (samengestelde delicten)
Delik tunggal adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan yang hanya dilakukan sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan delik bersusun adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan. Contohnya adalah dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan menyimpan barang-barang curian, contoh ini juga disebut gewoonte delicten (delik kebiasaan) yang mungkin atau biasa dilakukan oleh tukang rombengan/loak.
9.      – delik yang berjalan selesai (aplopende delicten)
- Delik yang berlangsung (voordurentde delicten)
Delik yang berjalan selesai adalah delik yang terdiri dari satu perbuatan dan selesai. Contohnya pasal 338 KUHP. Sedangkan delik yang berlangsung adalah delik yang melangsungkan perbuatan yang dilarang. Contoh : pasal 333 KUHP.[9]

D.    Subyek Tindak Pidana.
Di dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa yang menjadi subyek hukum pidana tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan. Demikianlah pada abad pertengahan (1571) pernah dipidana seekor banteng, karena membunuh seorang wanita, hal tersebut sekarang sudah tidak dianut lagi.
Disamping itu juga pernah dikenal, dipertanggungjawabkannya badan hukum sebagai subyek tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Von Feurbach, yang kesimpulannya badan-badan hukum tidak melakukan delik, maka pertanggungjawaban badan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang bertanggungjawab dipidanakan adalah pengurusnya. Jadi yang dimaksud subyek tindak pidana adalah manusia, sedangkan hewan tidak merupakan subyek tindak pidana.
Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subyek tindak pidana ini dapat kita simpulkan dari :
1.      Rumusan delik dalam undang-undang biasanya dimulai dengan kata-kata : “ barang siapa yang .... “. Kata barang siapa ini tidak dapat diartikan lain daripada manusia.
2.      Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada/tidaknya keslahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggung jawabkan itu adalah manusia.
3.      Pengertian kesalahan yang dapat berupa Dolus dan Culpa itu adalah merupakan sikap batin daripada manusia.
4.      Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur terutama didalam pasal 44, 45. 49 KUHP yang antara lain mensyaratkan kejiwaan dari hukum.
Dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subyek hukum.
Dalam KUHP ada suatu ketentuan yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah seperti yang diatur dalam pasal 59 KUHP. Pasal tersebut berbunyi “ dalam hal-hal karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurusnya, anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana”.
Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (koperasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam suatu koperasi. Seorang dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya.
Dalam KUHP juga ada pasal lain, yaitu pasal 169 : ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang, dan juga dalam pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Namun ajaran tersebut telah ditinggalkan, dalam hukum positif Indonesia misalnya dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi dalam pasal 15 ayat 1 dan 2 tersebut dapat kita ketahui bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana. Selain itu dalam Undang-Undang No. 11 Pnps 1963 jo UU No. 5 Tahun 1969 lampiran II a No. 9 pasal 17 ayat 1 menyebutkan : jika suatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, maka tindakan peradilan dilakukan “terhadapnya” dan seterusnya ..... ayat 3 nya berbunyi hampir sama seperti tersebut diatas.
Dalam hal badan hukum dikenakan suatu pidana denda ternyata pada akhirnya manusia-manusia pada perseorangan atau anggota-anggota badan hukum itu yang dikurangi hak miliknya yang berupa uang saham/andel dalam badan hukum itu. Demikian juga misalnya suatu perserikatan orang dibubarkan, pada akhirnya manusia-manusia anggota perserikatan itu dikurangi atau dihapuskan hak berkumpulnya dalam perserikatan tersebut.
Namun demikian penentuan badan hukum sebagai subyek adalah perlu mengingat perkambangan perdagangan yang memungkinkan sesuatu badan hukum menjalankan usaha dagang secara luwes untuk mengimpor atau mengekspor barang, seperti yang sudah lazim dalam dunia perdagangan internasional. Demikian peranan badan hukum dalam pertahanan/keamanan tidak dapat diabaikan. Dalam hal peraturan berkenaan dengan perpajakan atau perekonomian yang diatur biasanya mengenai soal-soal (hukum) administrasi, yang cara penyelesaianya jika terjadi pelanggaran terhadapnya dilakukan secara administrasi (denda).
Tentang ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau perserikatan dapat disimpulkan antara lain :
a.       Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya bukan diarah tujukan kepada badan hukum, atau perserikatan, tetapi sebenarnya kepada kelompok manusia yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan yang mempunyai kekayaan bersama untuk suatu tujuan yang tergabung pada badan tersebut.
b.      Adanya beberapa ketentuan yang harus menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum), terhadap badan-badan tersebut dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan itu terlarang dan dapat dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan, kemerdekaan (pidana penjara, tutupan) padanya : dan tidak mungkinnya pidana denda diganti dengan pidana kurungan dan sebagainya. Demikianlah pendapat Pompe dalam bukunya Handboek van Het Nederlands Strafrecht.
Singkatnya perluasan badan hukum sebagai subyek hukum pidana, adalah suatu kebutuhan, terutama dalam hal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan Strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Istilah  tindak pidana sebagai terjemahan dari Strafbaarfeit adalah diintrodusir oleh pihak Pemerintah seperti Departemen Kehakiman. Tindak pidana dapat diartikan atau didefinisikan sebagai segala setiap tindakan atau perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana jika dilakukan. Pengertian tindak pidana diatas menunjukkan pengertian gerak gerik tingkah laku dan gerak gerik jasmani seseorang. Menurut Prof. Soedarto, SH, beliau berpendapat bahwa, pembentuk undang-undang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai “Sosiologische gelding”.
Tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat kita bagi menjadi dua unsur, yaitu :
1.      Unsur Subyektif.
Unsur subyektif adalah unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya[1]. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act doesnt make a reason guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea).  Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (dolus) dan kealpaan/ketidak sengajaan (culpa).
2.      Unsur obyektif.
Unsur obyektif adalah unsur yang terletak di luar diri si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Unsur ini meliputi perbuatan, keadaan-keadaan, akibat, sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
Jenis tindak pidana ada beberapa macam diantaranya adalah Delik Formil (formele delicten), Delik Materiil (materiele delicten), Delik komisionis (commissie delicten), Delik Ommisionis (ommissie delicten), Oneigenlijke commisie delicten, Delik Sederhana (eenvoudige delicten), Delik Berkualifikasi (gequalificeerde delicten), Geprevelegeerde delicten. Delik Aduan (klaschtdelicten), Delik Biasa (gewonedelicten), Delik Umum (politike delicten), Delik Khusus (delicten propia), Delik Politik (politike delicten), Delik Komune (commune delicten), Delik berdiri sendiri (zelfstande delicten), Delik lanjutan (voorgrezette delicten), Delik Tunggal (enkelvoudige delicten), Delik Bersusun (samengestelde delicten), delik yang berjalan selesai (aplopende delicten), Delik yang berlangsung (voordurentde delicten)
Selain mempunyai unsur-unsur, dan jenis-jenis, tindak pidana juga mempunyai subjek, yaitu pelaku, siapakah subjek tindak pidana ? subjek tindak pidana adalah jelas manusia, tetapi pada zaman dahulu selain manusia juga pernah pula hewan menjadi subyek hukum. Hal ini terjadi pada abad pertengahan, yaitu sekitar tahun 1571. Disamping itu juga pernah dikenal, dipertanggungjawabkannya badan hukum sebagai subyek tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Von Feurbach, yang kesimpulannya badan-badan hukum tidak melakukan delik, maka pertanggungjawaban badan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang bertanggungjawab dipidanakan adalah pengurusnya. Dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subyek hukum. Penentuan badan hukum sebagai subyek adalah perlu mengingat perkambangan perdagangan yang memungkinkan sesuatu badan hukum menjalankan usaha dagang secara luwes untuk mengimpor atau mengekspor barang, seperti yang sudah lazim dalam dunia perdagangan internasional. Demikian peranan badan hukum dalam pertahanan/keamanan tidak dapat diabaikan. Dalam hal peraturan berkenaan dengan perpajakan atau perekonomian yang diatur biasanya mengenai soal-soal (hukum) administrasi, yang cara penyelesaianya jika terjadi pelanggaran terhadapnya dilakukan secara administrasi (denda). Tentang ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau perserikatan dapat disimpulkan antara lain :
a.       Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya bukan diarah tujukan kepada badan hukum, atau perserikatan, tetapi sebenarnya kepada kelompok manusia yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan yang mempunyai kekayaan bersama untuk suatu tujuan yang tergabung pada badan tersebut.
b.      Adanya beberapa ketentuan yang harus menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum), terhadap badan-badan tersebut dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan itu terlarang dan dapat dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan, kemerdekaan (pidana penjara, tutupan) padanya : dan tidak mungkinnya pidana denda diganti dengan pidana kurungan dan sebagainya. Demikianlah pendapat Pompe dalam bukunya Handboek van Het Nederlands Strafrecht.
Singkatnya perluasan badan hukum sebagai subyek hukum pidana, adalah suatu kebutuhan, terutama dalam hal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.


 DAFTAR PUSTAKA

1.      Schaffmeister. 1995. Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.
2.      Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
3.      Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
4.      Prasetyo, Teguh. 2005. Hukum Pidana Materiil Jilid I. Yogyakarta: Kurnia Alam.
5.      Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.
6.      Lamintang, PAF. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti.



[1] Ibid. Hlm. 94.


[1]  Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 71.
[2] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 75-76.
[3] Ibid. Hlm. 94.
[4] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa). Hlm. 184-186.
[5] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1987). Hlm. 58.
[6] PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997). Hlm. 184.
[7] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Hlm. 10-11.
[8] Drs. PAF Lamintang, SH, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997). Hlm. 210.
[9] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 87-92.
Copyright © Achmad Asrofi All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3.